Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

The Perfume

 



Ada kejadian seram yang sepertinya bakal jadi cerita turun temurun selama perusahaan kami masih eksis. Seorang karyawan wanita, kalau tidak salah admin keuangan, ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Dia memilih menggantung dirinya di rangka atap parkiran belakang kantor. Yang pertama kali menemukannya adalah satpam yang sedang patroli malam.

Di bawah jenazah yang sudah kaku ditemukan foto berukuran 4 x 6, foto gadis itu bersama salah satu karyawan pria yang resign dan menghilang begitu saja beberapa hari sebelumnya.

Katanya setiap arwah penasaran akan kesulitan meninggalkan dunia nyata. Makanya selalu ada jejak yang ditinggalkan. Pada hari-hari tertentu, di lantai dua kantor tempatnya berdinas kerap tercium wangi parfum yang dipakainya dulu. Wangi amber dengan kombinasi aroma vanilla yang kuat. Padahal peristiwa bunuh diri itu sudah terjadi lebih dari dua tahun yang lalu. Dan sejak saat itu, tidak ada satu pun karyawan yang berani memakai parfum dengan wangi yang sama.

---

Jadi rasanya sesuatu banget saat aroma parfum serupa tercium dari seorang anak baru. Andien namanya. Aku menebak usianya berkisar 24-25 tahun, beda tipis denganku. Wajahnya putih bersih, rambut lurus sebahu, matanya teduh, suka senyum dan orangnya sangat ramah. Mengisi posisi admin HRD, di lantai 3 kantor. Awalnya, karyawan-karyawan lama termasuk aku, suka mendadak tegang begitu Andien melintas atau saat kami menyerahkan berkas kepadanya. Maklumlah, aroma amber itu sudah tersimpan sedemikian rupa di alam bawah sadar kami. Tapi seiring waktu kami mulai terbiasa.

Andien juga sudah tahu cerita itu, tapi tidak berniat mengganti parfumnya. Itu aroma favoritnya katanya.

“Mas Alif, apa benar almarhumah waktu itu dihamili pacarnya, mantan karyawan di sini juga?” tanya Andien mengawali percakapan kami di sela-sela makan siang. Dua mangkuk mie ayam baru saja tiba, menghadirkan kepulan wangi menggugah selera.

Denger dari siapa?” sahutku sambil mulai mengaduk isi mangkuk.

“Yee, sudah rahasia umum kali, Mas.”

“Terus… maksudnya kamu tanya begitu itu apa? Aku ya dokter pribadinya?”

Andien terkekeh, memamerkan gigi kelincinya yang putih bersih.

“Kali-kali aja mas Alif tahu, kan katanya karyawan senior…,” Andien membela diri, masih menyisakan derai tawanya.

Aku menggelengkan kepala. Memang peristiwa itu selalu menjadi topik menarik bagi anak-anak baru, seperti Andien ini. Dan sasarannya ya… karyawan senior, seperti aku ini.

“Itu kan hanya dugaan karena belum ada bukti pasti. Memang dulu kawan akrab almarhumah yang curiga seperti itu, tapi dianya juga kan sudah resign ikut suaminya ke Kalimantan.”

Andien manggut-manggut mirip burung kakatua denger lagu hip-hop.

“Lagian kamu ini…” ucapku lagi. “Lagi makan siang kok ngomongin beginian. Nanti selera makan kita bisa hilang.”

“Iya, iya,” sahutnya sambil melambaikan tangan ke pelayan yang melintas. “Teh manis hangat dua ya!”

---

Aku heran. Teman-teman bilang akhir-akhir ini aku semakin akrab dengan Andien. Padahal menurutku, betul itu. Mungkin karena selama ini sebagai supervisor logistik aku jarang berkunjung ke ruangan lantai 3 yang diisi orang-orang HRD dan general affair. Tapi semenjak ada Andien, selalu saja ada alasan untuk berkunjung ke sana. Mengantar jemput berkas, sinkronisasi data, disposisi laporan atau setor muka. Padahal semua sebenarnya bisa diwakilkan kepada staf, kecuali yang terakhir.

Entah mengapa kalau dalam sehari tidak melihat gigi kelincinya dan mengendus parfum aroma amber khas dia, ada yang kurang.

Satu bulan telah berlalu.

Rasanya dunia semakin berwarna dan kehidupan sedang menuju ke puncaknya. Padahal rutinitas berjalan seperti biasanya. Matahari masih bersedia terbit di timur, staf-staf pemasaran masih suka berlarian menuju mesin check clock menjelang injury time, bos besar masih suka marah-marah kalau penjualan turun dan masih-masih yang lain.

Jam 12 tepat, aku sudah berada di depan meja kerja Andien yang kosong melompong. Mira, teman sedivisi Andien yang matanya seperti mata Squidward itu memandang acuh tak acuh lalu berkata,

“Andien lagi di kamar mandi. Baru saja….”

“Oh begitu. Baiklah.”

Aku pun balik kanan dan buru-buru keluar menuju ke kantin favorit yang tidak jauh dari kantor. Perut sudah konser minta diisi soalnya. Tentu tidak lupa mengabari posisi terakhir kepada Andien via WA, siapa tahu dia berniat menitip makan siangnya.

Kantin langganan kami ini sebenarnya cukup representatif. Awalnya adalah sebuah rumah ukuran sedang di pinggir jalan. Lalu ruang tamunya disulap jadi ruang makan yang cukup lega, dengan 5 meja yang bisa diisi 4 orang dan satu meja panjang yang bisa diisi ya… 7-8 orang. Bisa juga diisi 15 orang, kalau yang makan balita semua. Hehe… Kemudian 6 bulan lalu pemilik kantin mengganti kipas-kipas angin dengan dua buah Air Conditioner, demi kenyamanan pelanggan. Bagian depan rumah juga direnovasi. Pintunya diganti dengan rolling door yang disusul dengan pintu kaca. Komplit sudah.

Eh, si manis gigi kelinci itu ternyata menyusul. Dengan elegan dia membuka pintu, masuk, lalu duduk di sampingku. Senyumnya kembali merekah. Dan yang membuat pangling adalah setelan kantornya. Blazer merah maroon dengan bawahan senada, dalamannya putih dengan payet-payet hijau muda, plus syal tipis berwarna kelabu. Aku pernah melihat mode seperti ini, hanya lupa di majalah atau internet. Benar-benar cantik dan classy. Jangan lupa, aroma parfumnya kembali membelai indra penciuman.

“Mas Alif sudah pesan ya? Kok melotot begitu sih, Mas?” tanyanya bertubi-tubi.

“Oh, kelihatan banget ya kalau aku pangling? Hehe.”

“Iya…, “ sahutnya centil.

“Habis kamu siang ini kelihatan… beda. Manis dan cantik… Ini setelan baru ya?”

Dia tersipu-sipu, seperti kucing yang tertangkap basah sedang ngincer tulang ikan.

“Sudah lama kok, Mas. Hanya baru dipakai lagi…”

“Oh gitu. Eh, saya tadi pesan nasi goreng seafood… Kamu mau makan apa?”

---

Siang itu bisa dibilang siang yang sangat bersejarah bagiku. Pembicaraan kami yang biasa ngalor ngidul tak jelas itu, tiba-tiba mengarah kepada hal-hal pribadi. Andien menanyakan keluargaku seperti apa? Masa kecilku bagaimana? Sebelumnya sudah berapa kali pacaran? Selama pacaran pernah selingkuh atau tidak? dan pertanyaan-pertanyaan sejenis itu. Entah mengapa. Dia juga bertingkah lebih berani dari biasanya. Mengelus tanganku, menonjok mesra bahuku berkali-kali. Biasanya sekalipun mesti izin dulu.

“Mas Alif baik deh,” ucapnya lirih.

 Makan dan minuman kami sudah nyaris tandas.

“Baik kenapa?”
“Mas alif tidak keberatan bahunya dipinjam.”

“Bahu dip…”

Kata-kataku terputus, karena tahu-tahu kepalanya sudah bersandar di bahu kananku. Wangi amber semakin terasa.

“Andien,…”

“Iya…”

“Kamu lagi mabuk, ya?”

Pertanyaan itu bukan dijawab, malah dia menonjok perutku mesra.

“Mm…,” gumamku, mencoba menetralkan debaran jantung. Untunglah kantin cukup sepi siang ini. Bisa jadi trending topic kalau ada kawan kantor yang menangkap basah kemesraan kami ini.  “…tadi kamu sudah nanya-nanya kehidupan aku. Sekarang giliran aku ya…”

“Bagaimana ya, Mas. Sebenarnya aku ini orangnya introvert loh. Aku risih menceritakan kehidupan pribadiku pada orang lain. Ya kecuali pada sahabat dekat atau… kekasih.”

“Oh begitu. Jadi bagaimana kalau kita pacaran saja?”

Degh! Ingin rasanya aku memaki lidah dan bibir yang suka ngomong tanpa rem ini. Andien mengangkat kepalanya lalu menatapku penuh arti. Habis deh, pasti wajahku saat ini sedang merah padam... atau malah ijo royo-royo.

“Itu serius atau bercanda, Mas Alif?”

Bola panas dilemparkan kepadaku. Aku sadar suatu saat memang harus jujur kepadanya tentang perasaanku.

“Baiklah, Andien. Aku jujur. Aku sayang sama kamu. Hanya tidak nyangka tempat nembaknya jadi seperti ini. Aku membayangkan tempat lain yang lebih romantis, tetapi yah mau bagaimana lagi? Kamu juga sih tadi mancing-mancing jadinya…”

Andien menempelkan jari telunjuknya di bibirku.

“Mas Alif sayang sama aku?”

Aku menganggguk.

“Sayang atau sayang banget?”

Aku melotot lalu mencubit hidungnya gemas. Anak ini masih bisa bercanda, padahal aku sudah ketar ketir tidak karuan.

Tapi makan siang ini benar-benar jadi salah satu makan siang terbaikku, karena Andien ternyata memiliki rasa yang sama dan bersedia menerima aku jadi kekasihnya. Cinta pun bersemi. Mudah-mudahan besarnya cinta kami bisa seperti Romeo dan Juliet, Romi dan Yuli, Rama dan Shinta.

Sepuluh menit kemudian kami keluar dari kantin dengan hati berbunga-bunga dan senyum merekah. Wajarlah… kan baru jadian. Tapi aku lalu buru-buru kembali ke kantin lagi. Baru ingat makan siangnya belum dibayar.

Andien juga masuk kembali karena mau ke toliet. Dia lalu menyuruh aku kembali ke kantor duluan. Katanya perutnya lagi bermasalah, jadi sepertinya bakal lama ngendonnya. Dia juga tidak ingin kawan-kawan kantor semakin curiga dengan kedekatan kami. Biarlah untuk sementara waktu, kisah kasih ini hanya jadi milik kami berdua saja.

---

Sambil melangkah ke dalam lift, aku membuka aplikasi WA di HP. Jari telunjukku lalu menyentuh tombol  lift untuk mengarah ke lantai 4.

Ada pesan dari Andien. Aku tersenyum, belum apa-apa sudah kangen aja. Eh, pesannya dikirim 50 menit yang lalu. Oh, sepertinya pas aku keluar kantor tadi.

Mas Alif, tolong bungkus kwetiau goreng yak, tulisnya. Aku mengernyit.

Ting!

Pintu lift terbuka dan…. aku nyaris berteriak karena sosok Andien tahu-tahu muncul di depan lift.

“Mas Alif makannya lama benar… pesananku ada kan?” tanyanya. Penampilannya berubah. Setelan kantor berwarna abu-abu, tanpa syal dan ada dua potong koyo tertancap di kiri dan kanan kepalanya. Wajahnya juga agak pucat.

“Mas Alif kenapa? Kayak habis lihat hantu….”

“Memang!” seruku panik, lalu buru-buru menuju ke sudut dekat jendela, untuk memberi jalan kepada orang-orang yang hendak masuk ke dalam lift. Andien mengekor penasaran.

“Kamu bukannya tadi ke…? Bukannya tadi kamu…?” bahkan untuk meneruskan kata-kata saja sel-sel otakku tidak berfungsi lagi saking terkejutnya. Andien semakin menatap tak mengerti.

Ah, aku jadi teringat sesuatu sekarang. Baju yang dipakainya! Ya, itu bukan mode atau semacamnya. Aku cepat-cepat membuka galeri HP dan mengakses foto-foto lama. Rasanya masih tersimpan semua di memory card HP ini. Sampailah aku pada foto saat Rike, nama gadis naas itu, membunuh dirinya.

Foto amatir saat satpam kami menurunkan jenazah dari tali mautnya pun menghias layar HP-ku. Tidak etis memang mengambil gambar seperti itu, tapi foto itu dalam hitungan menit berpindah dari satu HP ke HP yang lain sebelum sampai ke HP-ku saat itu.

Memang agak gelap, tapi lampu flash HP yang pertama kali merekam gambar bisa menunjukkan dengan jelas kalau pada saat itu almarhumah memakai baju merah maroon, dalaman putih dan syal berwarna kelabu. Bulu-buluku merinding seketika. Aroma amber, entah parfum Andien atau bukan, lagi-lagi menggelitik syaraf-syaraf penciumanku.

“Ada apa sih, mas?”

Aku menggenggam tangan Andien kencang.

“Aku habis jadian sama han… han… han…”

Dunia jadi gelap. 



--- 



gambar dari freepik.com

Baca Juga Fiksi Keren lainnya:




  

Komentar