Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Menulis dari Hati, Menyunting dari Kepala

 



Write from the Heart, Edit from The Head. Saya pertama kali membaca quote ini di profil Kompasianer Mbak Dwi Klarasari. Quote ini berasal dari Stuart Aken, seorang novelis dan fotografer.

Jika diterjemahkan, kutipan tersebut artinya kurang lebih seperti yang tertulis pada judul artikel: Menulis dari Hati, Menyunting dari Kepala.

Ini ungkapan yang paling tepat untuk menggambarkan bagaimana biasanya saya menghasilkan karya demi karya, khususnya tulisan berupa puisi. Beberapa pujangga (baca: penulis puisi) lainnya pun mungkin akan mengamini ungkapan tersebut.

Salah satu kekuatan dari puisi adalah kita bisa menuangkan perasaan kita lewat baris kata-kata yang singkat entah dengan metafora atau secara harafiah. Berbeda dengan tulisan non fiksi yang harus dibuat segamblang mungkin agar persepsi pembaca tidak bias, lewat puisi kita bisa mengungkapkan perasaan tanpa perlu mendikte pembaca untuk memahaminya.

Bisa dipahami ya syukur, artinya pembaca bisa tertala pada frekuensi yang sama dengan penulis. Tapi tidak dipahami pun tidak menjadi masalah. Ini menjadi kekuatan berikut dari sebuah puisi.

Sebuah puisi, walau tanpa musik, memiliki melodinya sendiri. Penikmat puisi bisa dianalogikan dengan pendengar lagu. Para pendengar lagu bebas menginterpretasikan lagu yang sedang dinikmatinya. Bisa saja penulis lagu sedang bersedih hati saat menulis lagu tersebut, tapi begitu sampai ke telinga pendengar, mungkin nuansa lain yang ditangkapnya.

Bisa ketenangan, syahdu, kesepian, harapan dan seterusnya. Sensasi lagunya bisa berbeda-beda tergantung dari suasana hati atau cara si pendengar merespon lagu tersebut.

Begitu pula dengan puisi. Setelah puisi ditulis dan ditayangkan, puisi akan menjadi milik pembacanya.

Menulis dari Hati

Saat ingin menulis puisi, perasaan yang kita miliki, entah itu sedih, gembira, terkejut, cinta, amarah dan perasaan lainnya adalah pemicu terbaik. Saat perasaan sedang bergejolak, tidak perlu terlalu banyak berpikir. Biarkan “hati“ yang mengambil alih proses kreasi puisi kita. Tugas kita adalah menuangkan ke atas kertas, ke dalam gawai atau media apapun yang bisa segera merekam kata demi kata yang muncul pertama kali dari dalam hati.

Tidak perlu khawatir akan reaksi pembaca, karena saat itu puisi kita belum menemukan pembacanya.

Berdasarkan pengalaman saya, perasaan terdalam kita saat menyikapi sebuah isu atau masalah bisa menjadi amunisi yang baik untuk menciptakan sebuah puisi. Coba selami rasa dari puisi yang bertema lingkungan ini: Jalan Kedua.

Puisi ini lahir dari perasaan gereget karena sepertinya banyak orang yang cuek dan tidak menyadari kalau bahaya krisis lingkungan karena emisi gas rumah kaca sudah di depan mata. Dalam puisi ini “Jalan Kedua berarti jalan perjuangan, sebuah jalan yang tidak mudah di antara arus utama gaya hidup dunia kita saat ini.

Kadang-kadang puisi juga lahir dari empati kita terhadap orang lain. Seperti contoh salah satu puisi yang terinspirasi dari kawan kantor saya. Suaminya yang seorang pelaut akan segera bertugas beberapa saat setelah mereka menikah. Ada perasaan haru, sedih dan asa yang campur aduk jadi satu dan sepertinya berhasil saya tuangkan dalam puisi ini: Pelabuhan Berwarna Tembaga.

Tapi jangan salah. Puisi juga bisa lahir dari peristiwa yang kelihatannya sepele. Seperti contoh puisi Lalat DalamCangkir Kopi.

Lalat yang jatuh dan meregang nyawa dalam cangkir kopi itu memang kejadian nyata. Sayang rasanya, karena cangkir kopi yang masih penuh harus dibuang sia-sia karenanya. Tapi hal itu lantas membangkitkan ide untuk menulis puisi dan menghubungkannya dengan kejadian tentang kuburan jenazah korban Covid-19  yang saat itu sedang populer beritanya.

Menyunting dari Kepala

Nah, setelah menulis dari hati berhasil kita selesaikan, proses berikutnya adalah menyunting tulisan tersebut. Kali ini kita mulai memberi porsi lebih banyak kepada “kepala” untuk bekerja.

Tentu saja rasa tetap dibutuhkan untuk menjaga “jiwa” puisi kita. Tapi karena sebentar lagi akan tayang, maka puisi harus didekorasi dengan sejumlah kaidah yang diperlukan.

Paling tidak, kesalahan tipografi harus bersih dari puisi kita. Setelah itu mulailah bermain dengan rima dan diksi.

Saya bukan penulis puisi yang selalu konsisten menggunakan rima. Kalau saat menyunting puisi rimanya berhasil disusun dengan baik, maka saya menggunakan rima. Tapi jika tidak, ya tidak perlu dipaksakan.

Saya lebih cenderung menghabiskan energi saat proses sunting pada pemilihan kata atau diksi. Puisi akan terasa lebih kuat dan berkarakter dengan pemilihan kata yang tepat. Sebagai contoh pada puisi tertentu kata “bentala” lebih sesuai digunakan daripada kata “bumi”, kata “dara” lebih menimbulkan kesan daripada kata “gadis”, kata “senja” lebih puitis dari kata “sore” dan seterusnya.

Kata “bau”, “busuk”, “amis”, “tengik” memiliki konotasi yang hampir sama, tapi bisa menimbulkan kesan yang berbeda setelah diletakkan pada puisi.

Kemudian, karena puisi memberi ruang selebar-lebarnya pada diksi dan metafora, kita dapat memperkuat rasa dari puisi kita dengan kombinasi keduanya. 

Sebagai contoh, dibanding menulis 

“Air mataku jatuh di bulan Desember” 

saya memilih menulis 

“kepada Desember yang baru saja mengunyah air mataku”

seperti tertuang pada puisi Desember yang Dingin ini.

Untuk mengembangkan kemampuan memilah-milah kata ini memang dibutuhkan latihan terus menerus. Juga rajin membaca puisi-puisi yang diciptakan orang lain. Saya pun merasa masih harus terus belajar untuk hal yang satu ini.

Nah, demikianlah kiat-kiat mengubah rasa menjadi karya ala saya. Tidak perlu ditakar secara ilmiah, karena saya sendiri bukan pakar di bidang ini. Tulisan ini murni dilandasi niat berbagi pengalaman kepada pembaca sekalian. Semoga bermanfaat (PG) 


Pertama kali tayang di Kompasiana 


Baca Juga Artikel Keren lainnya:



Komentar