Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Bubur ayam diaduk atau bubur ayam tidak diaduk, sudah sering jadi bahan adu urat leher di lini masa. Sejak awal, aku berdiri di barisan bubur ayam tidak diaduk. Alasannya? Sudah jelas sebenarnya.
Hidangan eksotik itu
akan kehilangan pesonanya begitu diaduk jadi satu. Kalau itu campuran pasir,
air dan semen, aku tidak keberatan sama sekali. Memang malah harus dicampur
supaya adonan beton itu bisa digunakan dengan baik.
Tapi untuk semangkuk
bubur ayam? No way!
Coba bayangkan betapa
estetiknya semangkuk bubur yang masih mengepul dengan kaldu ayam yang gurih,
ditaburi dengan irisan daun bawang, kacang goreng, daging ayam suir-suir,
bawang goreng dan cakwe. Pada beberapa penyajian masih disertai pelengkap
seperti sate ampela, telur rebus dan disantap bersama kerupuk kanji yang
renyah.
Masing-masing
komposisi punya peran yang penting untuk membangun kenikmatan menyantap bubur
ayam tersebut. Tapi kalau semuanya tercampur jadi satu penampakan yang tidak
jelas. Ambyar! Bubur ayam kehilangan legitimasinya.
Herannya, masih ada
saja orang yang mengaku mendapat kepuasan dengan mengaduk seluruh pelengkap itu
dan bubur menjadi satu sebelum menyantapnya. Selain kehilangan estetika, membayangkan
rasasnya saja aku sudah tidak kuat!
Sejak tamat SMA dan
menduduki bangku kuliah, aku sudah bertahun-tahun mengalami perseteruan antara
pendukung bubur ayam diaduk dan bubur ayam tidak diaduk. Dan seperti sudah
kutulis, aku berdiri paling depan membela bubur ayam tidak diaduk. Itu harga
mati! Kalau para pejuang kemerdekaan dulu punya slogan “merdeka atau mati”,
slogan pribadiku adalah “bubur ayam tidak diaduk atau mati.”
Aku sudah melewati
puluhan bahkan ratusan perdebatan di media sosial dengan para pendukung bubur
ayam diaduk. Sebagian perdebatan berpindah platform dari lini masa ke
pesan pribadi atau grup aplikasi perpesanan. Belum pernah ada yang berhasil
menggoyahkan prinsipku. Beberapa diantara perdebatan itu malah berujung dengan
pemblokiran media sosial atau nomor teleponku. Tapi ah, persetan!
Mungkin persistensi
itu yang membuat tahun lalu aku ikut
dinominasikan jadi salah satu pengurus inti Persatuan Penikmat Bubur Ayam Tidak
Diaduk seluruh Indonesia. Aku sebenarnya tidak terlalu tertarik, tapi karena
tidak ingin mengecewakan teman-teman yang sudah mendukung, aku ikut maju
berkompetisi dengan kandidat lain.
Ya, pada akhirnya aku
memang tidak lolos sampai ke putaran akhir pemilihan, tapi itu tidak menjadi
masalah besar. Aku tetap bekerja membela idealisme barisan dengan penuh
dedikasi, sekalipun itu hanya di tingkat akar rumput.
Sekarang jam dinding
di kamar sudah menunjuk angka 8. Hari ini pekerjaan di kantor lumayan banyak,
jadi aku sampai cukup malam di kost. Setelah mandi dan berganti pakaian aku pun
menghempaskan tubuh di atas kasur lalu mulai menelisik satu per satu notifikasi
di layar gawai.
Masih ada jejak-jejak twitwar
sore tadi dengan salah satu pendukung garis keras bubur ayam diaduk. Tapi dia
sepertinya newbie. Juga ada notifikasi dari dua grup whatsapp
yang berakhir pada topik bubur ayam diaduk versus tidak diaduk. Setelah membaca
chat-chat bagian akhir, aku tersenyum. Pernyataan dari beberapa simpatisan
bubur ayam diaduk itu bisa dipatahkan dengan mudah. Tapi nanti saja aku membalasnya.
Perhatianku tertuju
pada pesan pribadi di aplikasi instagram. Dari seseorang bernama Niken. Kami
belum saling follow, tapi nama itu sepertinya sangat familiar. Dari foto
profilnya sepertinya aku juga pernah mengenalnya.
Aku pun menyetujui request
pesan dan pesannya muncul di layar gawai.
Hai, Andre. Aku Niken.
Masih ingat? Kita teman kelas di kelas 12. Kamu yang selalu pinjam buku catatan
aku.
Aku pun melayangkan
pikiran ke masa-masa SMA dulu dan … menepuk jidat. Kenapa bisa lupa ya? Dia ini
kan cewek paling pintar di kelas dan kursinya tepat berada di depan mejaku.
Tapi dulu seingatku penampilannya biasa-biasa saja. Tidak pernah pakai riasan
seperti anak cewek yang lain, kacamatanya tebal, pakai behel, rambut panjangnya
seperti tidak terurus. Tidak ada menarik-menariknya.
Tapi sekarang, dia manis
sekali. Rambutnya masih tetap panjang, tapi sudah licin seperti rambut
selebritis, sudah tidak pakai kacamata atau behel, kulitnya bersih dan mulus. Ditambah
dengan sapuan gincu merah merona, dia bisa dapat skor 95 dari skala 100 untuk
penampilan.
Hai, Niken. Sampai
pangling aku. Kamu tambah cantik sekarang. Bagaimana kabar kamu?, balasku.
Ternyata dia juga sedang
online, sehingga pesan itu dibalas tidak sampai semenit kemudian.
Alhamdulilah baik,
Dre. Hehe… terima kasih. Masih suka gombal menggombal kamu rupanya
Aku tersenyum.
Gak. Sekarang aku
sudah insaf, Niken. Sekarang aku sudah jarang sekali muji cewek, balasku.
Dia membalas dengan emoticon
tertawa.
Kamu pun berbalasan pesan
beberapa kali sebelum bertukar nomor whatsapp. Dan tahu-tahu percakapan
kami berpindah ke jalur telepon. Kami saling menanyakan aktivitas dan keadaan masing-masing.
Ternyata dia juga masih single, sama sepertiku. Kami juga bertukar kabar
tentang teman-teman kami dulu.
Mendengar suara Niken
yang mendayu-dayu itu sukses membuatku nostalgia. Suaranya masih sama
renyahnya, tapi saat ini terdengar lebih mature dan seksi. Dia juga
lebih cerdas menanggapi semua obrolan dan candaanku, berbeda dengan dulu. Dia
di kelas anak yang introver. Seingatku dia tidak punya banyak kawan, apalagi
bergabung di geng anak-anak cewek.
Dalam beberapa menit
aku langsung jatuh cinta. Walaupun baru jatuh cinta pada suaranya. Entah
mengapa, aku langsung merasa ada kepingan-kepingan yang hilang dan ditemukan
kembali.
Niken sendiri
memaksaku mengingat kalau aku pernah membelanya suatu hari saat dia diganggu
anak-anak cowok dari SMA tetangga. Itu meninggalkan kesan mendalam untuknya.
Padahal aku sudah lupa peristiwa itu. Dulu sekolah kami memang sering bentrok
di jalanan, jadi mungkin kisah itu hanya kisah biasa-biasa saja untukku.
Tahu-tahu jarum jam
sudah berada di angka 10. Jika dalam beberapa menit bercakap-cakap aku sudah
jatuh cinta, bagaimana jika dalam puluhan menit?
Tapi ucapan Niken
berikutnya benar-benar di luar dugaanku.
“Eh, Dre. Tahu gak?
Aku ini pengurus cabang Persatuan Pendukung Bubur Ayam Diaduk, loh. Aku dapat
medsos kamu tadi dari salah satu teman yang barusan twitwar sama kamu,”
lalu tertawa renyah.
“Masa sih?” tanyaku
tidak percaya.
Dia mengiyakan.
“Tapi kita tetap bisa
temenan kan sekalipun beda idealisme?” sahutnya lagi.
“Oh, tentu saja. Malah
aku jadi kepikiran, kapan-kapan kita rendezvouz di kedai bubur ayam, lanjut
ngobrol di sana. Cara makan bubur ayamnya, biarlah jadi ritual masing-masing.
Bagaimana?”
“Boleeh,” Niken
menyahut antusias. “Lagipula, mau diaduk atau tidak diaduk itu kan kembali ke
selera masing-masing ya. Menurut aku sama saja, sih. Toh dalam perut kita kan ujung-ujungnya
semuanya bercampur aduk.”
“Betul,” sahutku. Kami
pun tertawa berbarengan.
Tidak butuh waktu
lama, kami sudah membuat janji bertemu besok pagi-pagi untuk sarapan di salah
satu kedai bubur ayam populer di kota kami. Setelah itu kami pun berpamitan dan
mengakhiri percakapan panjang itu.
Tidak sabar rasanya menunggu besok pagi tiba. Sesekali mencoba makan bubur ayam diaduk sepertinya seru juga ya.
----
Komentar