Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Bubur Ayam Tidak Diaduk Harga Mati!

 




Bubur ayam diaduk atau bubur ayam tidak diaduk, sudah sering jadi bahan adu urat leher di lini masa. Sejak awal, aku berdiri di barisan bubur ayam tidak diaduk. Alasannya? Sudah jelas sebenarnya.

Hidangan eksotik itu akan kehilangan pesonanya begitu diaduk jadi satu. Kalau itu campuran pasir, air dan semen, aku tidak keberatan sama sekali. Memang malah harus dicampur supaya adonan beton itu bisa digunakan dengan baik.

Tapi untuk semangkuk bubur ayam? No way!

Coba bayangkan betapa estetiknya semangkuk bubur yang masih mengepul dengan kaldu ayam yang gurih, ditaburi dengan irisan daun bawang, kacang goreng, daging ayam suir-suir, bawang goreng dan cakwe. Pada beberapa penyajian masih disertai pelengkap seperti sate ampela, telur rebus dan disantap bersama kerupuk kanji yang renyah.

Masing-masing komposisi punya peran yang penting untuk membangun kenikmatan menyantap bubur ayam tersebut. Tapi kalau semuanya tercampur jadi satu penampakan yang tidak jelas. Ambyar! Bubur ayam kehilangan legitimasinya.

Herannya, masih ada saja orang yang mengaku mendapat kepuasan dengan mengaduk seluruh pelengkap itu dan bubur menjadi satu sebelum menyantapnya. Selain kehilangan estetika, membayangkan rasasnya saja aku sudah tidak kuat!

Sejak tamat SMA dan menduduki bangku kuliah, aku sudah bertahun-tahun mengalami perseteruan antara pendukung bubur ayam diaduk dan bubur ayam tidak diaduk. Dan seperti sudah kutulis, aku berdiri paling depan membela bubur ayam tidak diaduk. Itu harga mati! Kalau para pejuang kemerdekaan dulu punya slogan “merdeka atau mati”, slogan pribadiku adalah “bubur ayam tidak diaduk atau mati.”

Aku sudah melewati puluhan bahkan ratusan perdebatan di media sosial dengan para pendukung bubur ayam diaduk. Sebagian perdebatan berpindah platform dari lini masa ke pesan pribadi atau grup aplikasi perpesanan. Belum pernah ada yang berhasil menggoyahkan prinsipku. Beberapa diantara perdebatan itu malah berujung dengan pemblokiran media sosial atau nomor teleponku. Tapi ah, persetan!

Mungkin persistensi itu yang membuat tahun lalu aku ikut dinominasikan jadi salah satu pengurus inti Persatuan Penikmat Bubur Ayam Tidak Diaduk seluruh Indonesia. Aku sebenarnya tidak terlalu tertarik, tapi karena tidak ingin mengecewakan teman-teman yang sudah mendukung, aku ikut maju berkompetisi dengan kandidat lain.

Ya, pada akhirnya aku memang tidak lolos sampai ke putaran akhir pemilihan, tapi itu tidak menjadi masalah besar. Aku tetap bekerja membela idealisme barisan dengan penuh dedikasi, sekalipun itu hanya di tingkat akar rumput.

Sekarang jam dinding di kamar sudah menunjuk angka 8. Hari ini pekerjaan di kantor lumayan banyak, jadi aku sampai cukup malam di kost. Setelah mandi dan berganti pakaian aku pun menghempaskan tubuh di atas kasur lalu mulai menelisik satu per satu notifikasi di layar gawai.

Masih ada jejak-jejak twitwar sore tadi dengan salah satu pendukung garis keras bubur ayam diaduk. Tapi dia sepertinya newbie. Juga ada notifikasi dari dua grup whatsapp yang berakhir pada topik bubur ayam diaduk versus tidak diaduk. Setelah membaca chat-chat bagian akhir, aku tersenyum. Pernyataan dari beberapa simpatisan bubur ayam diaduk itu bisa dipatahkan dengan mudah. Tapi nanti saja aku membalasnya.

Perhatianku tertuju pada pesan pribadi di aplikasi instagram. Dari seseorang bernama Niken. Kami belum saling follow, tapi nama itu sepertinya sangat familiar. Dari foto profilnya sepertinya aku juga pernah mengenalnya.

Aku pun menyetujui request pesan dan pesannya muncul di layar gawai.

Hai, Andre. Aku Niken. Masih ingat? Kita teman kelas di kelas 12. Kamu yang selalu pinjam buku catatan aku.

Aku pun melayangkan pikiran ke masa-masa SMA dulu dan … menepuk jidat. Kenapa bisa lupa ya? Dia ini kan cewek paling pintar di kelas dan kursinya tepat berada di depan mejaku. Tapi dulu seingatku penampilannya biasa-biasa saja. Tidak pernah pakai riasan seperti anak cewek yang lain, kacamatanya tebal, pakai behel, rambut panjangnya seperti tidak terurus. Tidak ada menarik-menariknya.

Tapi sekarang, dia manis sekali. Rambutnya masih tetap panjang, tapi sudah licin seperti rambut selebritis, sudah tidak pakai kacamata atau behel, kulitnya bersih dan mulus. Ditambah dengan sapuan gincu merah merona, dia bisa dapat skor 95 dari skala 100 untuk penampilan.

Hai, Niken. Sampai pangling aku. Kamu tambah cantik sekarang. Bagaimana kabar kamu?, balasku.

Ternyata dia juga sedang online, sehingga pesan itu dibalas tidak sampai semenit kemudian.

Alhamdulilah baik, Dre. Hehe… terima kasih. Masih suka gombal menggombal kamu rupanya

Aku tersenyum.

Gak. Sekarang aku sudah insaf, Niken. Sekarang aku sudah jarang sekali muji cewek, balasku.

Dia membalas dengan emoticon tertawa.

Kamu pun berbalasan pesan beberapa kali sebelum bertukar nomor whatsapp. Dan tahu-tahu percakapan kami berpindah ke jalur telepon. Kami saling menanyakan aktivitas dan keadaan masing-masing. Ternyata dia juga masih single, sama sepertiku. Kami juga bertukar kabar tentang teman-teman kami dulu.

Mendengar suara Niken yang mendayu-dayu itu sukses membuatku nostalgia. Suaranya masih sama renyahnya, tapi saat ini terdengar lebih mature dan seksi. Dia juga lebih cerdas menanggapi semua obrolan dan candaanku, berbeda dengan dulu. Dia di kelas anak yang introver. Seingatku dia tidak punya banyak kawan, apalagi bergabung di geng anak-anak cewek.

Dalam beberapa menit aku langsung jatuh cinta. Walaupun baru jatuh cinta pada suaranya. Entah mengapa, aku langsung merasa ada kepingan-kepingan yang hilang dan ditemukan kembali.

Niken sendiri memaksaku mengingat kalau aku pernah membelanya suatu hari saat dia diganggu anak-anak cowok dari SMA tetangga. Itu meninggalkan kesan mendalam untuknya. Padahal aku sudah lupa peristiwa itu. Dulu sekolah kami memang sering bentrok di jalanan, jadi mungkin kisah itu hanya kisah biasa-biasa saja untukku.

Tahu-tahu jarum jam sudah berada di angka 10. Jika dalam beberapa menit bercakap-cakap aku sudah jatuh cinta, bagaimana jika dalam puluhan menit?

Tapi ucapan Niken berikutnya benar-benar di luar dugaanku.

“Eh, Dre. Tahu gak? Aku ini pengurus cabang Persatuan Pendukung Bubur Ayam Diaduk, loh. Aku dapat medsos kamu tadi dari salah satu teman yang barusan twitwar sama kamu,” lalu tertawa renyah.

“Masa sih?” tanyaku tidak percaya.

Dia mengiyakan.

“Tapi kita tetap bisa temenan kan sekalipun beda idealisme?” sahutnya lagi.

“Oh, tentu saja. Malah aku jadi kepikiran, kapan-kapan kita rendezvouz di kedai bubur ayam, lanjut ngobrol di sana. Cara makan bubur ayamnya, biarlah jadi ritual masing-masing. Bagaimana?”

“Boleeh,” Niken menyahut antusias. “Lagipula, mau diaduk atau tidak diaduk itu kan kembali ke selera masing-masing ya. Menurut aku sama saja, sih. Toh dalam perut kita kan ujung-ujungnya semuanya bercampur aduk.”

“Betul,” sahutku. Kami pun tertawa berbarengan.

Tidak butuh waktu lama, kami sudah membuat janji bertemu besok pagi-pagi untuk sarapan di salah satu kedai bubur ayam populer di kota kami. Setelah itu kami pun berpamitan dan mengakhiri percakapan panjang itu.

Tidak sabar rasanya menunggu besok pagi tiba. Sesekali mencoba makan bubur ayam diaduk sepertinya seru juga ya.  


---- 


ilustrasi gambar dari pixabay.com 



Baca Juga Fiksi Keren lainnya:







  

Komentar

true mengatakan…
Asyik! 🙂