Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Kamu bisa saja menghadirkan puluhan jenis wajah di atas helai kain sutera itu. Tetapi setiap kali jemari lentikmu mulai menyusuri serat-serat kain dengan ujung canting, selalu saja wajah hujan yang hadir. Hujan yang turun malu-malu, hujan bulan Desember, hujan yang berduet dengan badai, hujan di hutan tropis dan hujan yang datang bersama angin laut. Gurat-gurat yang dihasilkan cantingmu semuanya berkisah tentang hujan.
Aku tahu, hujan
adalah sejarah istimewa dalam hidupmu. Awal menemukan cinta pertamamu pada saat
hujan bulan Desember. Saat itu kamu kehujanan dan kedinginan di halte bus,
katamu. Lelaki itu, cinta pertamamu, datang lalu membuka jas hitamnya dan
menyampirkannya di punggungmu untuk mengusir dingin.
Tiga tahun kemudian,
lelaki itu, cinta pertamamu, mengucapkan perpisahan di bawah tarian hujan yang
datang bersama angin laut.
Aku sudah hafal
kisah memilukan itu. Dan untuk menyingkirkan sejarah yang getir itu, kamu
selalu menyumpahi kain-kain sutera dan kain blacu dengan goresan-goresan
cantingmu yang mungkin saja selalu menggigil kedinginan karena wajah hujan pilu
yang keluar dari cucuknya.
Sampai pada
suatu senja, aku memberikan kado ulang tahun yang spesial, sebuah canting yang
aku beli dari kakek pujangga yang mengasingkan diri di dataran tinggi.
“Apa yang
istimewa?” tanyamu sambil memandang canting tersebut. Sepintas lalu memang
canting itu tidak jauh berbeda dengan canting biasa. Gagangnya dari bambu yang
diampelas halus, nyamplung-nya pun dari tembaga seperti canting-canting
lainnya.
“Pakai saja
dulu,” sahutku setengah mendesak.
Kamu lalu
mengambil selembar kain yang setengahnya sudah dipenuhi sketsa batik. Kamu
mencelupkan canting ke dalam cairan malam yang sudah panas lalu jemari lentikmu
mulai menari-nari kembali besama canting di atas kain.
Setelah
beberapa menit berlalu, kamu terkejut dan heran.
“Apa yang
terjadi?” tanyamu, ketika tidak melihat wajah hujan di atas kain batikmu,
melainkan guratan wajah kemarau yang cerah dan membara.
“Itu canting
kemarau,” sahutku. “Aku memberi hadiah ini agar lukisanmu lebih semarak. Kamu
harus kembali melukis wajah lain pada batik-batik ini selain wajah hujan yang
selalu suram dan sendu.”
Di luar
dugaanku, kamu menghempaskan canting itu, lalu berdiri dan meninggalkan beranda
sanggar yang penuh hamparan kain sembari menangis tersedu-sedu.
Aku memandang canting kemarau yang tergolek pasrah sambil membatin, apakah lelaki itu juga cinta terakhirmu?
---
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar