Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Beberapa bulan lalu komunitas penulis Rumah Pena Inspirasi Sahabat atau dikenal juga dengan Rumpies the Club (RTC) menggelar event menulis di Kompasiana dalam rangka menyambut Hari Pahlawan. Kegiatan tersebut dilanjutkan dengan webinar bertajuk “Bincang Buku bareng Jokpin” yang menghadirkan Joko Pinurbo seorang penulis puisi kawakan.
Webinar yang digelar
pada platform google meet tersebut berlangsung pada tanggal 16 November
2021, dimulai pukul 19.00 WITA. Saya beruntung bisa menjadi salah satu peserta
webinar bersama puluhan Kompasianer lain.
Siapa yang tidak
kenal dengan Joko Pinurbo?
Seorang penulis puisi yang sangat produktif. Puisi-puisinya juga selalu sukses
menyihir para pembacanya. Puisi-puisi Pak Joko Pinurbo atau yang familiar
dipanggil Jokpin sebenarnya sering memotret hal-hal sederhana dalam kehidupan
sehari-hari. Tapi seorang Jokpin selalu berhasil mengajak pembaca untuk
berpikir lebih dalam dan menangguk nilai atau makna dari hal-hal yang nampak
sederhana tersebut. Ini kekuatan puisi-puisi Jokpin.
Webinar yang
berlangsung selama kurang lebih dua jam berjalan lancar. Para peserta cukup antusias
mengajukan pertanyaan demi pertanyaan. Jokpin sebagai narasumber tunggal pun
memberikan penjelasan dengan santai dan lugas, sehingga mudah dipahami oleh
peserta.
Banyak insight
serta ilmu baru yang diterima peserta. Dari sekian banyak hal baru yang
diterima, saya paling tertarik dengan topik mengenai menulis puisi dengan
metode berpikir induktif yang biasa diterapkan Jokpin.
Topik ini sangat
membekas, karena selama ini tanpa saya sadari, saya lebih banyak menggunakan
metode sebaliknya, yaitu deduktif, saat menulis sebuah puisi. Padahal menurut
Jokpin metode deduktif lebih cocok digunakan untuk membuat karya tulis yang
bersifat ilmiah. Karena pendekatannya mulai dari hal-hal yang bersifat umum
atau abstrak menuju ke hal-hal yang bersifat khusus.
Kaleng Khong Guan
Jokpin memberi contoh.
Dengan mengamati satu kaleng biskuit khong guan saja, bisa lahir banyak tema
puisi dari sana. Kaleng khong guan identik dengan perayaan, dan sejauh
pengamatannya selalu ada pada hari raya keagamaan apa saja seperti Lebaran,
Natal, Paskah dan seterusnya.
Nah, dengan pendekatan
induktif, kaleng khong guan bisa menjadi puisi bertema toleransi, puisi tentang
silaturahmi dan tema-tema relevan lainnya.
Contoh lain, saat terjadi
bencana gelombang kedua Covid-19 beberapa waktu lalu, Jokpin tidak mulai
menulis puisi dengan mengurai tema besar seperti bencana kesehatan, misalnya.
Dia justru mulai dengan fenomena yang begitu dekat dan nyata, suara sirine
ambulans.
Hati Jokpin digedor-gedor
dengan suara sirine mobil-mobil pengangkut jenazah korban pandemi yang nyaris terdengar
sepanjang waktu. Dalam sejam dua jam saja, Jokpin bisa menghitung berapa jiwa lagi
yang berpulang.
Jokpin mulai menalar
dan mengembangkan puisinya dari fenomena tersebut. Suara sirine pun digubah
menjadi sebuah pertanyaan reflektif: apakah kematian itu memang suratan takdir
seorang manusia?
Bagaimana jika kematian
terjadi karena kelalaian manusia lainnya? misalnya: karena kelalaian pihak-pihak
terkait membangun sistem kesehatan yang lebih baik dan siap menghadapi bencana.
Ini yang dimaksud
dengan menulis puisi dengan pendekatan induktif oleh Jokpin. Dimulai dengan hal
khusus atau objek tertentu, lalu dikembangkan menjadi sebuah puisi yang
paripurna.
Setelah penjelasan
panjang dari Jokpin tentang metode tersebut, saya spontan mengingat-ingat kembali
bagaimana pendekatan yang saya lakukan selama ini. Ternyata nyaris semua puisi
saya ditulis dengan pendekatan deduktif.
Ya, saya selalu mulai
dari tema besarnya terlebih dahulu.
Hari ini mau
menulis tentang lingkungan ah.
Sepertinya bagus menulis
puisi tentang politik, ada isu yang sedang hangat dibahas.
Sudah lama tidak
menulis puisi romantis. Menulis puisi tentang apa ya bagusnya?
Kira-kira seperti itu
pernyataan dan pertanyaan untuk memantik ide menulis dari dalam kepala.
Selanjutnya? Seperti yang disampaikan Jokpin, kita cenderung lebih mudah blank
dengan pendekatan seperti itu. Dan ini 100% benar, menurut saya.
Setelah menentukan
tema besarnya, mulailah saya mengernyitkan kening untuk merangkai kata-kata
berikutnya.
Tanpa sadar saya mempersempit
ruang imajinasi karena membuat kontruksi berpikir umum-khusus seperti itu. Padahal
dengan kontruksi berpikir khusus-umum, kita bisa membuka selebar-lebarnya ruang
berpikir untuk menampung inspirasi yang akan dituangkan jadi bait-bait puisi.
Puisi Induktif
Tanpa Sengaja
Padahal, secara tidak
sengaja saya juga pernah membuat satu atau dua puisi dengan pendekatan
induktif. Sayangnya, saat itu saya belum mengikuti webinar ini, jadi belum
paham dengan metode yang saya gunakan.
Pada puisi Bocah Penjual Jeruk di SPBU, misalnya. Saat itu ide puisinya muncul saat mengamati
seorang gadis kecil, taksiran saya berusia 8 atau 9 tahun, menjajakan
dagangannya jeruk manis ke pemotor-pemotor yang akan mengisi BBM di sebuah SPBU.
Saat itu, saya sedang
ada keperluan ke luar kantor jadi tidak bisa langsung mengeksekusi idenya. Tapi
entah mengapa, idenya tidak keburu hilang, jadi usai jam kantor saya langsung
menulisnya dan menunggahnya ke Kompasiana. Tidak disangka, puisi ini menuai
cukup banyak pembaca.
Begitu pula dengan
puisi Lalat di Cangkir Kopi. Puisi ini lahir dari kejadian nyata. Kopi
yang sudah diseduh ditinggal sebentar, eh begitu mau diteguk, ada seekor
lalat yang terapung di atasnya. Sayang rasanya, karena cangkir kopi yang masih
penuh harus dibuang sia-sia karenanya.
Tapi hal itu kemudian
memantik ide untuk menulis puisi dan menghubungkannya dengan kejadian tentang
kuburan jenazah korban Covid-19 yang saat itu sedang populer beritanya. Puisi
ini malah disundul jadi Headline oleh Admin Kompasiana.
Menulis puisi dengan
metode yang baru (induktif) sepertinya menarik untuk mulai dilakoni pada
waktu-waktu ke depan ini. Kalaupun selama ini sudah pernah dilakukan, saya akan
melakukannya dengan kesadaran yang baru. Jadi sensasinya seperti peristiwa naik
kelas.
Pertama kali tayang di Kompasiana | ilustrasi gambar dari pixabay.com
Baca Juga Artikel Keren lainnya:
Komentar