Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Angin cukup tenang pagi ini. Di ujung dermaga, sebuah yacht kecil berwarna putih seperti pasir pantai bersandar dengan tenang. Kapten kapal baru saja pergi ke pusat kota untuk membeli bir dan cemilan. Di dalam lounge, lelaki paruh baya, pemilik yacht, duduk bergeming.
Bernadino, nama sang taipan,
sedang mengamati pesan demi pesan di layar gawainya. Gurat-gurat yang dibentuk
dari usia dan kerasnya intrik di dunia bisnis memahat raut wajahnya yang kokoh.
Lembar-lembar koran pagi terhampar di sandaran sofa. Sang taipan nampak tidak
terlalu tertarik membacanya, pun menghabiskan isi cangkir kopi espresso
yang tinggal setengah.
Terdengar langkah kaki
dengan irama teratur dari arah buritan, menyusuri koridor lalu pintu ruangan
terbuka.
“Sepertinya kamu
membawa kabar buruk,” ucap Bernadino dengan tone berat dan dingin. “Tapi
aku penasaran apa yang membuatmu memaksa kita harus bertemu di sini, Kim.”
Sang tamu yang sudah
duduk dengan sopan di depan sofa mencari kata-kata yang tepat untuk memulai
kalimatnya. Dia seorang lelaki muda dalam balutan jaket kulit coklat tua. Topi
bundar yang tadi menutupi kepalanya sudah tergantung rapi di kapstok kayu.
Matanya kecil tapi terlihat dingin dan kelam.
“Ya, Tuan. Barang yang
dikirim minggu lalu ditahan kepolisian. Sudah lolos dari bea cukai, sebenarnya.
Kontainer dicegat dalam perjalanan ke rumah aman. Mereka berhasil memisahkan
paket dan barisan pengamanan. Ada
rekayasa lampu merah dan kemacetan. BNN sekarang semakin canggih,” ucap Kim
dengan nada berat.
Bernadino mengembuskan
napas panjang. “Ini bukan pengiriman kecil, Kim. Dan kamu baru saja
mengacaukannya.”
“Maaf, Tuan. Aku sudah
berusaha semampunya. Kali ini langkah BNN unpredictable,” Kim tertunduk
“… dan kamu bukan
datang hanya untuk curhat dan minta maaf, bukan? Apa yang kamu temukan?” tanya Bernadino
masih dengan suaranya yang dingin.
Kim menyodorkan sebuah
tablet dengan layar terbuka. Wajah perwira tinggi, dengan tiga bintang tersemat
di kerah bajunya muncul di situ. Wajahnya bersih, tapi mulai dihiasi
kerut-kerut usia di sana-sini. Mata sang jenderal menatap tajam, seolah ingin
menerkam siapapun yang berani menantang nyalinya.
“Hmm, wajahnya
familiar.”
“Ya, Tuan. Beberapa
nama muncul, tapi aku punya firasat kuat dan informasi pendukung kalau jenderal
ini yang menggagalkan pengiriman terakhir. Namanya Jenderal Bayu.”
“Ah, ya aku ingat
sekarang. Dia memang berbahaya, Kim. Alumni pendidikan intelijen Rusia. Dingin
dan tidak mengenal ampun memberantas kejahatan. Kabarnya, dia menguasai beberapa
bahasa dan punya pengaruh besar di antara para jenderal. Jangan main-main
dengannya, Kim. Bagaimana dia bisa terlibat? Dia masih di markas besar
kepolisian, bukan?”
“Ya, Tuan. Menurut
informanku dia ditugaskan Kapolri secara khusus mengejar salah satu sindikat trafficking
lintas negara. Bisa jadi terhubung ke jaringan kita dari situ. Ini yang sedang
aku selidiki.”
Bernadino berdiri dan
beranjak ke jendela bundar untuk memandang laut dan pulau di luar yacht.
Dia menerawang jauh.
“Dia tidak akan
berhenti, Kim. Aku pernah sekali berurusan dengan jenderal ini.”
“Sejauh ini aman,
Tuan. Jejak sudah dibersihkan. Hanya kalau memang dia sehebat itu, mungkin
tinggal masalah waktu jaringan kita dibongkar. Kecuali kita mengantisipasinya
lebih dahulu. Hanya … harus aku akui, jenderal ini benar-benar bersih.”
“Untuk menghabisinya secara
frontal sama saja bunuh diri, Kim. Orang seperti ini cukup tangguh dan punya
pengamanan berlapis-lapis. Kita butuh cara yang senyap,” sambung Bernadino lalu
kembali berjalan ke arah sofa. “Bagaimana dengan wanita? Istrinya sudah
meninggal beberapa tahun yang lalu bukan?”
“Ya Tuan. Tapi
sepertinya dia memang bukan tipe laki-laki yang akan jatuh karena wanita. Tidak
pernah ada rumor sekecil apapun, tidak pernah terlihat bersama wanita lain.”
Bernadino duduk
kembali dan memandang lekat-lekat foto Jenderal Bayu di layar tablet. Dia
menggangguk-angguk kecil.
****
Sepuluh hari kemudian.
Jenderal Bayu dalam
balutan batik lengan panjang mewah memasuki pintu rumah makan Gala Dining,
restoran bintang lima di jantung kota Jakarta yang populer dengan menu seafood-nya.
Seorang petugas menuntunnya ke salah satu meja bundar yang sudah di-reservasi.
Sudah ada sepasang suami-istri di situ. Keduanya langsung berdiri dan menyambut
sang jenderal dengan hangat.
“Apa kabar, Jenderal?
Sudah lama tidak ketemu, ya?”
“Iya, Pak Menteri.
Terakhir Desember tahun lalu kalau tidak salah,” sahut Jenderal Bayu.
Setelah bersalaman
mereka duduk dan kembali larut dalam percakapan. Dua ajudan yang mengawal sang
jenderal duduk di meja bundar di sebelah mereka.
Di restoran ini akan dilangsungkan
resepsi makan malam sekaligus launching buku yang ditulis oleh salah
satu anggota DPR. Tidak heran tamu-tamu undangan adalah para pembesar dan
orang-orang penting.
Semakin lama restoran
yang besar itu semakin padat. Kesibukan pelayan restoran meningkat. Mereka
hilir mudik mengantar makanan dan minuman ke meja-meja tamu. Di bagian depan
ruang resepsi, dekat panggung, disediakan space khusus untuk para
wartawan dan jurnalis yang akan meliput kegiatan. Di situ juga sudah terlihat
penuh.
Kini meja bundar di
depan sang jenderal sudah dikeliling tamu-tamu yang lain. Anggota DPR, pejabat
lembaga negara, pemimpin redaksi dan owner perusahaan multinasional.
Sebagian besar sudah dikenal dengan baik oleh sang jenderal.
Saat mengantar
hidangan pembuka, seorang pelayan, lelaki muda berusia kurang lebih 20-an tahun
tanpa sengaja menyenggol siku sang jenderal. Untunglah sup asparagus kepiting
yang diantarnya tidak tumpah dan berhasil mendarat dengan aman di atas meja.
Wajah pelayan yang
putih bersih jadi kemerah-merahan, mungkin karena malu campur takut. Dia
berulang kali tertunduk mohon maaf atas kesalahannya kepada sang jenderal. Jenderal
Bayu tersenyum dan menepuk-nepuk bahu pelayan itu. Dia juga mengangkat telapak
tangan ke dua ajudan yang sudah berdiri dari meja sebelah untuk memberi kode ‘tidak
ada masalah’
“Tidak apa-apa, Mas.
Saya juga salah tadi.”
Pelayan itu kembali
menunduk dan pamit meninggalkan mereka.
Pemandangan barusan
menarik perhatian seorang fotografer dari barisan pers. Dia sudah beberapa kali
mengambil gambar secara acak, termasuk ke arah meja Jenderal Bayu.
Gambar-gambar itu kini
terpampang dengan jelas di layar laptop Bernadino. Dia sedang berada di president
suite salah satu hotel bintang lima. Dengan senyum kemenangan dia memandang
foto demi foto.
“Lihat, dia memandang
pria muda itu dengan tatapan kagum dan … napsu. Ini membuatnya lengah,”
gumamnya.
Dia lalu mengambil
gawai dan melakukan panggilan.
“Kim, apakah orangmu
bisa dipercaya?” dia bertanya dengan dingin.
“Siapa, Tuan, Pemuda
itu? Ya, Alex seorang pro. Jangan tertipu dengan tampang polosnya.”
“Segera konfirmasi racunnya sudah ada di
piring jenderal atau belum.”
“Siap, Tuan.”
Percakapan terputus.
Beberapa menit
kemudian gawai Bernadino berbunyi nyaring.
“Kim?”
“Sudah confirmed,
Tuan!”
“Kalau begitu segera
tarik orangmu dari tempat itu. Racunnya baru akan bekerja 20-30 menit kemudian,
masih ada waktu untuk keluar dan membersihkan jejak.”
“Siap, Tuan. Tuan…?”
Hening sejenak.
Bernadino menunggu. “Kim?”
“Insting anda benar.
Aku harus angkat topi untuk ide ini.”
Bernadino terkekeh.
“Segera pastikan orang-orangmu keluar dengan aman.”
Setelah percakapan
kembali terputus. Bernadino menutup layar laptopnya. Dia tidak sabar menunggu berita
yang akan muncul di koran pagi dan portal berita daring besok.
Tayang pertama kali di Kompasiana | ilustrasi gambar oleh Szilárd Szabó dari Pixabay
Komentar