Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Pengantin Bom

 



Senja itu, seorang lelaki menatap cakrawala dengan pandangan hampa. Dia melihat bayangan dirinya pada garis horizon di sana. Garis itu kini seperti jadi batas antara kehidupan dan kematian. Seiring matahari yang beringsut tenggelam, dia semakin jadi siluet bersama puluhan batu-batu nisan di sekelilingnya.

Beberapa waktu kemudian, pandangan hampanya mulai berpendar. Dengan sedikit senyuman dia menyentakkan sesuatu.

Duarrr!!

Gelap berganti terang yang menyilaukan sejenak, bersamaan dengan suara letusan yang memekakkan telinga. Tubuh lelaki itu tercerai-berai, menyatu dengan tanah kuburan.

Jiwanya yang rapuh menari-nari ke atas cakrawala, menuju ke batas senja dan malam. Burung-burung camar yang menjaga perbatasan pun segera mengantarnya ke pintu akhirat. Ada sejumlah pintu yang tertutup di sana. Terlihat setiap jenang pintu memiliki angka sendiri yang diukir rapi-rapi dengan tinta emas.

Di depan jejeran pintu-pintu itu, sudah menunggu malaikat penjaga di balik meja besar. Setelah berdiri berhadap-hadapan dengan sang malaikat, burung-burung camar meninggalkan mereka berdua.

Malaikat penjaga memandangnya ogah-ogahan .

“Aku tidak peduli dengan credo yang kamu imani sehingga menyangka meledakkan diri seperti itu bisa membantumu di sini. Jadi aku tidak akan berbasa-basi, Tuan Adam, silakan masuk ke pintu nomor 7C.”

Lelaki yang ternyata bernama Adam ini memiliki sejuta tanda tanya di benaknya, tapi melihat malaikat penjaga kembali sibuk dengan buku registrasinya yang super tebal, dia mengurungkan niat untuk bertanya lebih jauh. Dia pun hendak beranjak menuju ke deretan pintu di sisi sebelah.

“… tapi aku penasaran, Tuan,” sergah sang malaikat.

Adam mengurungkan langkahnya.

“Mengapa di kuburan? Mereka semua sudah mati, bukan? Mengapa tidak di antara manusia-manusia yang masih hidup seperti kebiasaan pengantin-pengantin bunuh diri lainnya?”

Adam tersenyum hambar. Ya, ini bisa jadi awal percakapan panjang mereka.

“Buat apa lagi tuan ….”

“Panggil saja Terra,” sahut malaikat penjaga.

“Buat apa lagi, Tuan Terra. Bukankah manusia-manusia itu sudah meledakkan dirinya sendiri berkali-kali? Mereka semua punya detonator sendiri bernama benci, dendam dan amarah. Aku pernah mengalaminya, Tuan Terra.”

Terra, sang malaikat penjaga tertegun namun tetap mendengarkan. “Lanjutkan…”

“Ya. Aku penuh dengan amarah, kebencian dan dendam. Hampir setiap hari aku meledak karena menyimpan perasaan-perasaan itu. Percayalah, Tuan, bukan itu yang menyakitkan. Bagian yang paling sulit dan menyakitkan adalah, aku harus mengumpulkan keping demi keping diriku yang sudah tercerai-berai lalu menyatukannya kembali seperti semula. Bayangkan, Tuan. Jadi aku tidak menyesal memilih jalan ini, meledakkan diriku dalam arti yang sebenarnya, agar aku tidak perlu menderita lebih lama lagi. Mengapa di tengah-tengah mereka yang sudah mati? Katakanlah, aku membuat semacam pesta selamat datang untuk diriku sendiri, Tuan Terra. Mungkin mereka akan lebih menyukaiku nanti.”

Setelah penjelasan panjang itu malaikat Terra mengangguk-angguk kecil.

“Aku nyaris menaruh simpati padamu, Tuan Adam. Tapi… keputusan sudah final. Silakan, pintu 7C,” ucapnya sembari mengangkat tangan ke arah jejeran pintu.

“Boleh aku bertanya, itu surga atau neraka, Tuan Terra?”

Malaikat Terra menggeleng. “Surga atau neraka? Wah, akhirat tidak sesederhana itu, Tuan. Silakan, anda akan segera tahu.”

Adam mengangguk pasrah. Lalu beranjak dari situ. Kali ini dia benar-benar pergi karena malaikat Terra kembali serius menulis sesuatu di buku registrasinya. Dari kejauhan burung-burung camar penjaga perbatasan terlihat kembali mengantar jiwa berikutnya menuju ke arah sang malaikat.


---

lustrasi gambar dari pixabay.com 



Baca Juga Fiksi Keren lainnya:







  

Komentar