Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Tempat Tenang dan Meneduhkan

 


Hujan deras. Suara tariannya di atas rumah memenuhi gendang telinga. Awan hitam di atas kota membuat siang jadi seperti malam. Motor dan mobil di atas jalanan hilang, digantikan oleh tirai hujan yang semakin rapat.

Angin kencang. Atap-atap beterbangan. Pohon-pohon tertunduk-tunduk, bergelut menahan terjangannya. Beberapa menyerah dan pasrah. Tercabut dan jatuh menimpa jalanan, trotoar dan bangunan.

Di antara badai yang riuh dan menakutkan, masih adakah tempat untuk sembunyi?

Aku lalu tertunduk seperti pepohonan. Ya, masih ada tempat tenang dan meneduhkan yang tersisa di sana, di dalam hati, selama kita tidak jadi badai untuk hati kita sendiri.



Tayang pertama kali di Kompasiana | ilustrasi gambar dari pixabay.com 


Baca Juga Fiksi Keren lainnya:





Komentar