Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Sekarang pukul 5 sore. Walaupun di hamparan
langit mendung sudah berganti cerah, sisa-sisa gerimis masih menggantung di udara.
Deden memanfaatkan cuaca yang cukup kondusif itu untuk menengok kebun kacang panjangnya. Petani muda ini memang sudah dikenal oleh orang-orang sedesa sebagai petani yang rajin. Pantang leyeh-leyeh jika ada kesempatan untuk produktif.
Luas lahan yang dimilikinya untuk rumah
dan pertanian kurang lebih sama dengan warga desa lain. Tapi dia selalu lebih punya
banyak jenis hasil bumi dibanding rata-rata warga lainnya. Seperti contoh, saat
ini dia seperti kebanyakan warga desa lain sedang berada pada masa tanam padi. Tapi
selain itu dia punya sepetak kebun kacang panjang di dekat rumah, sepetak kebun
yang saat ini ditanami terong, satu unit intalasi hidroponik yang saat ini
sedang diisi sawi, tanaman tomat dan lombok dalam polybag yang ditata di samping
teras, kemudian di belakang rumah ada kandang ayam petelur berukuran kecil dan
kolam lele. Pokoknya paket komplit.
Saat sedang menyiangi satu dua
rumput usil yang tumbuh di sela-sela tanaman kacang panjang, Deden mendengar
suara mesin sepeda motor berhenti dari arah depan rumah. Tidak lama kemudian, Marni
istrinya memanggil dari pintu dapur.
“… ada Sule sama Parjo!” suara
sopran istrinya merambat melalui tonggak-tonggak kayu yang dipenuhi sulur tanaman
kacang panjang.
Deden berseru mengiyakan, lalu
bergegas kembali ke rumah.
Setelah bersih-bersih sebentar dan mengganti
bajunya, dia menghampiri tamunya di teras rumah. Di situ sudah ada Sule dan
Parjo sesama petani muda lainnya yang sedang duduk dengan santai di sisi meja
bundar dari plastik. Di atas meja sudah menanti tiga gelas kopi hitam yang
masih mengepul dan dua piring penuh pisang goreng. Penampakannya begitu menggoda.
“Wah, ada rezeki anak soleh nih,”
Deden menunjuk pisang goreng di atas meja. Dia tahu, Parjo baru-baru panen pisang
besar-besaran. Parjo dan beberapa warga pemilik lahan pisang lainnya sudah
punya pembeli tetap yang pada waktu tertentu datang bolak-balik dengan mobil pick-up
nya untuk memborong hasil panen mereka.
Parjo tersenyum. “Kita kan sudah
lama tidak nongkrong lagi, Bro, jadi tadi mumpung istri lagi rajin buat pisang
goreng, saya minta dia buat agak banyak buat dibawa ke sini juga,” sahutnya.
“Alasan tuh, Bang,” potong Sule. “Dia
mau curhat sebenarnya. Saya saja tadi lagi asyik memancing ditarik paksa, mesti
ngikut.”
Dari antara mereka bertiga, memang Sule
ini yang paling muda. Jadi paling sering jadi korban diseret ke sana kemari. Pun
paling sering jadi korban “perundungan” terutama kalau pembicaraan sudah menyerempet
ke masalah rumah tangga, karena dari antara mereka bertiga tinggal dia yang
belum menikah.
“Hmm, curhat apa, nih?” Deden
memandang Parjo sembari ikut duduk dan mencomot satu potong pisang goreng.
Parjo menepuk bahu Sule. “Gara-gara
kamu tuh, masak langsung to the point gitu. Kan mestinya ngomong
santai-santai dulu,” ucapnya kesal. Sementara Sule hanya membalas dengan senyum
menang lotere.
“Pasti gara-gara berita koalisi itu,
kan?” tebak Deden.
Sule membalas dengan mengacungkan
telunjuknya, “Nilai 100, Bang!”
Parjo mengangguk membenarkan.
Koalisi yang dimaksud Deden adalah
perkembangan terkini situasi dan kondisi politik tanah air beberapa waktu sebelum
pelantikan Presiden dan Wakil Presiden baru.
Kurang lebih tujuh bulan yang lalu,
mereka bertiga juga berkumpul di teras rumah Deden seperti saat ini. Saat itu dua
hari setelah pemilu digelar dan perhitungan cepat hasil pemilu sedang gencar-gencarnya
ditayangkan berbagai stasiun TV. Kebetulan mereka bertiga ini memiliki pilihan
capres cawapres yang berbeda-beda. Parjo memilih paslon 01, Sule pendukung
paslon 02, dan Deden fans garis keras paslon 03.
Hasil hitung cepat menunjukkan perolehan
suara 02 jauh memimpin meninggalkan pesaing-pesaingnya, sehingga terlihat Sule yang
paling bahagia lahir batin dari antara ketiganya. Sesekali malah mempraktikkan joget
gemoy untuk mengompori dua kawannya. Walaupun mereka bertiga sobat akrab, tidak
ayal letupan-letupan emosi sesaat juga mewarnai percakapan mereka saat itu.
Deden menuding 02 menang karena banyak
pengkondisian sejak awal dan ada cawe-cawe dari presiden. Sementara Parjo
mengangkat berita-berita kesalahan perhitungan KPU yang membuat terjadi “penggelembungan”
suara paslon 02. “Nih, lihat nih, di salah satu TPS suara 02 hanya 81, begitu
masuk situs KPU jadi terbaca 881, gila gak tuh?”
Sule hanya senyum-senyum jahil,
lalu menyahut asal “Kan nanti tinggal dikoreksi. Tapi bagaimanapun juga, ayam jagoanku
sudah pasti menang. Lihat tuh suaranya sudah 58%, susah dikejar itu.”
“Iyalah menang, justru aneh kalau
kalah. Ayam kamu kan curang,” sambung Parjo lagi.
“Memang selalu gitu ya. Yang menang
sibuk merayakan, yang kalah sibuk menjelaskan, hehe, ” sahut Sule, lalu pasang
pose gemoy lagi.
Karena berbeda pilihan, mereka suka
menganalogikan capres-cawapres pilihan mereka dengan ayam aduan dan kontes
pilpres ini disamakan dengan arena sabung ayam.
Eh, tidak diduga dan tidak dikira, menjelang
pelantikan, berita-berita mengenai koalisi ketiga kubu bermunculan. Kabarnya kubu
01 dan kubu 03 akan digandeng ke dalam pemerintahan oleh kubu 02. Masing-masing
kubu bakal dapat jatah menteri di kabinet. Dengan demikian diharapkan pemerintahan
bisa berjalan dengan lebih mulus dan rakyat tidak terpolarisasi lagi.
Perbincangan mengenai fenomena
politik tersebut berlangsung seru, sehingga tanpa terasa waktu lebih dari
setengah jam berjalan begitu cepat. Piring pisang goreng dan gelas-gelas kopi
juga sudah hampir tandas.
“… sekarang paling kita hanya bisa berharap
mudah-mudahan janji-janji kampanye dulu bisa dipenuhi untuk rakyat.” Deden
memecahkan hening yang tercipta beberapa detik.
“Katanya gaji ASN mau dinaikkan,
bukan? Termasuk gaji TNI,” sambung Parjo. “Ada tuh tentara, sepupu dua kali, dulu
sering sekali kirim WA buat pilih 02. Gak tahu bagaimana kabarnya sekarang?”
Sule menyeruput kopi penghabisan
sebelum menyambung ucapan Parjo, “Kasihan yang bukan ASN ya. Kakak saya yang
karyawan swasta, akhir-akhir ini suka ngeluh karena PPh naik, harga-harga pada
naik imbas dari pencabutan subsidi bensin. Saat yang lain-lain naik, eh,
gajinya tetap.”
“Yah, begitulah nasib rakyat jelata
seperti kita. Saya biasanya mikir, mungkin rakyat ini memang harus dikondisikan
seperti itu, ya. Dibuat susaaah terus hidupnya, supaya mudah dikontrol sama
penguasa. Biar dapat janji-janji surga sedikit, dapat bansos sedikit, dapat
duit sedikit, sikap kritisnya langsung hilang.”
Sule dan Parjo mengangguk membenarkan.
“… dan jadinya kayak lingkaran
setan, kan? Gitu aja terus, siapapun pemimpinya.”
“Jadi, …. Kalau rakyat cerdas seperti
kamu, Den, yang bahaya pemerintahnya ya,” potong Parjo lalu tertawa.
Mau tidak mau Deden dan Sule ikut tertawa.
Saat itu pisang goreng tersisa satu
potong di atas piring. Seperti dikomando, secara bersamaan ketiganya
menjulurkan tangan untuk mengambil pisang goreng tersebut. Melihat yang lain
mau mengambil, juluran tangan mereka tiba-tiba juga berhenti bersamaan.
Deden menarik tangannya. Begitu
pula Sule dan Parjo. “Udah, ambil aja, Jo,” perintah Deden.
“Le, buat kamu aja. Saya sudah
kenyang, kok,” sahut Parjo.
Sule menatap lucu. “Bohong! Kenyang
kok masih ngambil?”
Ketiganya lalu tertawa lagi. “Eh,
teman-teman,” sambung Deden lagi. “Saya jadi mikir juga. Masih ingat kan, yang
lalu kita selalu berantem gara-gara mau memenangkan ayam jago masing-masing.
Kalau dipikir-pikir lagi, sebenarnya yang ayam aduan itu ya kita-kita ini, rakyat
jelata! Karena rakyatnya yang berantem, elit politiknya yang jadi penonton. Rakyatnya
udah babak belur berkelahi, eh, ujung-ujungnya pemimpinnya deal-deal
politik.”
“Betul itu, Bang,” jawab Sule. “Ada
yang sampai saling menjelekkan, tidak mau saling ngomong, blokir-blokiran,
gara-gara beda pilihan capres.”
“Nah, karena kamu lagi cerdas sore
ini, pisang gorengnya buat kamu saja,” ucap Parjo sambil mengangkat piring
pisang goreng ke depan wajah Deden. Dikandang paksa seperti itu, Deden tidak
bisa menolak lagi.
“Nah, begitu kira-kira tawaran koalisinya,
Bang. Tidak bisa nolak, harus diterima,” celetuk Sule.
Suara tawa lepas ketiganya kembali
terdengar.
Sementara itu senja semakin semarak
dengan hadirnya warna-warni tembaga di ufuk barat. Sebentar lagi malam akan
menjemput siang.
Deden, Parjo dan Sule adalah cerminan
masyarakat yang polos, jujur dan mau bersahabat dengan kehidupannya masing-masing.
Mereka pun berharap hidup mau bersahabat dengan mereka, siapapun yang menjadi
pemimpinnya. Harapan yang sebenarnya sederhana. Semoga semesta mendengarkan.
Komentar