Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Peri Salju yang Kesepian

 


Peri Salju menghitung bulir demi bulir salju yang jatuh deras dari langit malam ke atas hutan pinus, berharap bisa menangkal rasa sepinya. Tapi sepertinya tidak berhasil. Bahkan hutan yang biasa semarak oleh celoteh makhluk-makhluk malam kali ini begitu senyap.

Dia lalu terbang mengitari hutan. Di bawah terlihat boneka salju yang manis. Bentuknya sebenarnya biasa saja. Terbuat dari dua bola salju besar. Namun pembuatnya punya imajinasi bagus. Boneka itu didandani dengan topi, syal, dasi dan beberapa buah sayur seperti wortel dan kentang yang disemat-disana sini.

Peri salju pun mendekat, mengambil bedak sihir dan menaburkannya.

Ajaib! Seketika itu mata boneka salju berkedip, tangannya dari ranting pohon pun bergerak-gerak seperti makhluk hidup.

“Mengapa kamu membangunkanku?”tanyanya dengan nada menyesal.

“Aku butuh teman berbincang-bincang…”

“Aku lebih suka jadi patung saja.”

“Mengapa..?”

Boneka salju hendak menjawab ketika terdengar raungan mesin motor salju yang mendekat. Semuanya terjadi begitu cepat. Dua motor salju muncul melaju dan salah satunya menyambar boneka salju. Makhluk malang itu pun jadi berantakan.

“Siapa orang bodoh yang meletakkan boneka salju itu di jalan?” umpat salah satu pengendara motor dari kejauhan.

Peri salju pun mengerti. Dia menarik sihirnya dari boneka salju yang sedang mengerang sekarat. Lalu  kembali menghitung bulir-bulir salju dari langit.

--- 


Baca Juga Fiksi Keren lainnya:







Komentar