Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Es Teler

 


“Hidup itu harus dijalani dengan senang. Jangan terlalu pusing mikir hal-hal yang belum pasti,” kata Mak Ecce. Wanita di penghujung usia 50 ini sedang memberi wejangan pada Andi, anak muda yang sejak tadi curhat gara-gara nilai-nilai kuliahnya semester ini banyak yang jelek. Sambil berkata-kata, Mak Ecce meracik es teler yang dipesan Andi. Setelah menakar alpukat, gula merah dan serutan es batu ke dalam gelas bening besar, dia lalu menuang susu kental manis dan membubuhkan beberapa butir kacang disko.

Sudah belasan tahun Mak Ecce berprofesi sebagai penjual es buah dan es teler bersama belasan pedagang serupa di jalan Timah, tepat di belakang tembok kampus tempat Andi berkuliah. Jadi dia sudah sangat terbiasa mendengar celotehan anak-anak yang baru “belajar” kehidupan seperti Andi ini.

“Bagaimana tidak pusing, Mak. Bapak saya bilang kalau IP semester ini lagi-lagi tidak sampai tiga saya dipanggil pulang ke kampung,” keluh Andi lagi.

Mak Ecce meletakkan gelas es teler yang sudah komplit di depan Andi. Walaupun tidak lulus SMP, Mak Ecce ini paham apa itu IP, SKS dan tetek bengek istilah perkuliahan lainnya karena memang terbiasa mendengar cerita anak-anak itu.

“Makanya… kuliah yang benar… kalau ada tugas dikerjakan… belajar. Jangan suka-suka ikut anak motor atau main game tidak kenal waktu,” sambung Mak Ecce lagi.

“Iya sih, Mak. Sejak punya laptop, saya suka main game. Biasa sampai subuh lagi…”

“Nah, itu dia. Kalau kita sudah berusaha dengan baik hasilnya masih jelek, bisa jadi mungkin memang kemampuan kita sudah seperti itu. Tapi kalau belum benar-benar berusaha jangan terlalu cepat menyalahkan keadaan.”

Andi mengangguk-angguk lalu menyendok dan menyeruput isi gelasnya.

“Lagian kalau kamu memang benar-benar disuruh pulang kampung kan di sana juga bisa usaha kecil-kecilan. Misalnya buka usaha jualan es seperti Mak ini.”

“Kalau Mak yang buka pasti laris manis. Lah, saya, bisanya hanya rebus indomie saja.”

Mak Ecce pun duduk di atas kursi kosong di depan Andi. Kebetulan saat itu lapaknya sedang sepi pengunjung, sehingga dia bebas bercakap-cakap  dengan pelanggan setianya itu.

“ Kamu tuh masih muda, Nak. Perjalanan hidup kamu masih panjang. Jadi tidak ada salahnya belajar dan mencoba hal-hal baru. Mak ini seusia kamu dulu sudah merantau sampai ke Malaysia buat cari hidup. Setelah nikah Mak juga pernah usaha toko kelontong, tambal ban sampai catering. Sekarang anak-anak Mak sudah kerja semua tapi Mak masih senang jualan seperti ini. Senang rasanya bisa ketemu orang-orang, dengar cerita macam-macam kehidupan di luar sana yang Mak belum pernah alami…”

Andi nampak merenungkan kata-kata Mak Ecce barusan. Dia memang baru sekali ini mendengar  Mak menceritakan sepenggal kisah hidupnya.

“Hidup itu seperti es teler, “ Mak melanjutkan lagi kata-katanya. “Lihat es teler, macam-macam isinya. Kacang, alpukat, gula merah, susu, kelapa, es batu. Tapi itu justru yang membuatnya menjadi nikmat. Jadi jangan takut mencoba yang baru. Justru dengan banyak pengalaman hidup, kita jadi bisa banyak berguna untuk orang lain.”

“Wah, makasih nasihat-nasihatnya ya, Mak. Selama ini Mak jarang sekali ngobrol seperti ini.”

“Ya, tergantung, Nak. Kebetulan siang ini lagi sepi, jadi lain cerita.”

“Sekali lagi makasih ya, Mak. Tapi… ngomong-ngomong es teler yang ini utang lagi ya.”

Mak Ecce menepuk jidatnya. “Yah, ini anak. Baru dikasih nasihat dikit sudah minta ngutang lagi. Yang begini nih yang bikin Mak pusing.”

Andi terkekeh.

“Loh, tadi katanya dalam hidup jangan suka pusing-pusing, Mak. Besok saya bayar sekalian kok. Sebentar pulang kampus mau mampir ke ATM.”

Mau tidak mau Mak pun ikut-ikutan tertawa.

Ya, pelajaran tidak selalu didapatkan di dalam kelas atau ruang kuliah. Di antara debu jalanan, bahkan dari segelas es teler kita bisa belajar kehidupan.

--- 


Pertama kali tayang di Kompasiana

Ilustrasi gambar dari tribunnews.com


Baca Juga Fiksi Keren lainnya:






Komentar