Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Mencintaimu Seperti Kemarin

Aku mencintaimu seperti dahulu

seperti saat di sudut sekolah kita terpaku

remaja lugu dibekap malu

seperti saat kita mengira cinta adalah sejenis pembuktian

maka kita pun memuja kembang, surat atau cokelat batangan.

 

Aku mencintaimu seperti kemarin

seperti saat kenari bersolek dengan latar pagi merekah

dan di bawah pepohonan kita duduk menyapa angin

enggan membiarkan waktu menjauh

membiarkan suara hati menggugah.

 

Aku mencintaimu

seperti saat kita mengutuk kehidupan yang mengejan

dan mendaraskan air mata karena kita sedang ditempa petaka

agar kita semakin mengasah kepekaan dan cara memberi makna

pada kehidupan.

 

Aku mencintaimu seperti saat itu

saat kita mengucap janji sehidup semati

dalam senang dan susah

dalam sehat dan sakit

dalam untung dan malang

seperti saat kita akhirnya menyadari cinta bukanlah pembuktian

melainkan sebuah takdir yang daripadanya kita tak bisa lari lagi

seperti cincin di jari manis yang tidak akan terlepas lagi.

 

aku mencintaimu seperti saat ini

saat yang kita butuhkan hanya kehadiran

bahkan waktu pun tak bisa mencurinya.

Aku suka mengatakannya di hadapan wajah yang masih terus menua

cintaku tidak berubah

hanya berdinamika seiring peradaban dan usia.

 

aku mencintaimu seperti esok lusa

seperti saat walet menari dengan latar senja merekah

saat anak-anak waktu kita sudah mampu mengejar cinta mereka

walaupun pada awalnya mereka juga akan mengira cinta adalah sejenis pembuktian

 

Indah, bukan?

menyanyikan lagu yang sama dengan melodi yang berbeda

seperti itulah cinta kita nyanyikan

tidak peduli pagi, senja atau bahkan esok akan meninggalkan kita

aku masih tetap mencintaimu

seperti kemarin.


---


Pertama kali tayang di Kompasiana


Ilustrasi gambar dari pixabay.com


Baca Juga Fiksi Keren lainnya:


Komentar