Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

The Angel

 



Holy night.... silent night.... Ehm!”

Wajah Siska kembali tertekuk. Cewek imut ini merasa suaranya tetap saja tak memuaskan. Padahal dia ingin sekali bisa masuk menjadi anggota koor Sekami (Serikat Karya Misioner) untuk memeriahkan acara Natal mereka nanti. Soalnya, Resto, cowok ter-cool setanah air itu kan juga anggota koor. Jadi kalau dia bisa sukses jadi anggota koor artinya dia bisa sering-sering pantengin wajah cowok idamannya itu.

“Ah, aku harus bisa!” batinnya. Lalu dia mulai menegakkan posisinya dan mulai mengambil suara lagi.

Holy night.... Silent night.... A,!!”

Mau tak mau suara Siska mesti ter-cut saat itu karena teleponnya berteriak nyaring.

“Siapa sih!? Ganggu aja!” sungutnya bete lalu meraih gagang teleponnya.

“Hallo??”

Suara Titan sohib setianya terdengar di seberang sana.

“Sis, kamu nggak lupa kan sore ini ada pemilihan anggota tambahan untuk koor?”

“Iya, iya!”

So, sebentar sore samperin aku ya, aku mau dengar sejauh mana perkembangan suara cempreng kamu. Kalo kamu emang benar-benar mau dekat dengan pangeran Resto ka....”

“Iya, bawel! Ini juga lagi latihan!”

Titan terkekeh.

“Cieee... yang lagi kasmaran.”

“Ya udah. Sampai sore nanti. Jangan ketiduran lagi kayak kemarin.”

“OK deh. Sampai nanti sore. Bye....”

“Bye....”

Klik!

Siska menghela napas panjang.

“OK, latihan lagi. Holy night.... Si...”

Suara Siska harus ter-cut lagi karena saat itu ibunya memanggil-manggil dari luar kamar.

“Sis!? Siska...!!? Ibu keabisan terigu nih. Beliin di warung sebelah gih. Siska!?”

Siska tertunduk lemas.

“Siska...!! cepetan ya, ovennya udah diangetin tuh....”

Susah banget ya jadi pejuang cinta.

********************************

Sore harinya di aula gereja udah rame banget. Anak-anak Sekami tumpah ruah. Mulai dari yang SD sampai anak-anak SMP sebaya Siska. Anak-anak berpusat di beberapa tempat, masing-masing ditemani seorang kakak pembimbing. Siska dan Titan nampak lagi duduk di pojokan aula. Wajah Siska cemberut lagi. Dia langsung bete begitu tahu kakak pembimbing yang mengetest vokal adalah kak Yoga. Soalnya dulu kak Yoga pernah bilang kalau Siska kudu latihan super keras kalau mau jadi anggota paduan suara. Menurut kak Yoga, Siska lebih berbakat jadi MC atau penari ketimbang jadi penyanyi. Padahal Siska pengen banget jadi anggota koor.

“Ya, tapi nggak ada salahnya kan mencoba, Sis. Siapa tahu kali ini kamu kepilih.”

Untuk kesekian kalinya Titan berusaha memberi spirit pada Siska. Siska terdiam cukup lama.

“Kemungkinannya kecil, tapi.... baiklah. Nggak ada salahnya dicoba.”

Siska berdiri mengumpulkan segenap semangatnya.

“Nah, gitu dong. That’s my friend!” Titan menyahut girang.

Mereka berdua pun berjalan ke arah anak-anak yang ngumpul di sekitar kak Yoga. Tapi tiba-tiba bahu Siska dipegang seseorang. Siska agak terkejut, lalu berbalik.

“Eh, kak Ella...”

Seorang cewek berambut panjang tersenyum manis ke arahnya dan Titan.

“Hai, Siska. Hai, Titan. Sis, kebetulan banget. Kakak kekurangan pemain drama nih. Satu lagi. Titan kan udah masuk koor. Jadi tawarannya ke kamu nih. Kamu mau jadi pemeran malaikat?”

Saat itu juga kepala Siska langsung dipenuhi bayangan putri cantik bersayap, berpakaian serba putih, bergerak-gerak anggun di atas panggung. Hmm... so sweet!

“Gimana, mau nggak?”

Lamunan Siska buyar seketika.

“Ng... hm...Iya, boleh, boleh...”

Siska membelalak. Dia tidak percaya baru saja mengucapkannya. Senyum kak Ella tersungging lebar.

“OK. Kalo gitu kita ke depan yuk! Kita mulai latihan.”

Kak Ella menggandeng tangan Siska. Siska pun hanya mengekor pasrah. Wajah bengongnya ditunjukkan pada Titan. Titan ternyata lebih bengong lagi.

Dan Siska tidak bisa membohongi kata hatinya. Dia ternyata lebih menikmati gerakan-gerakan malaikat yang anggun ketimbang tarik suara. Mengepakkan tangan dengan gemulai, melangkah setengah menari, membuatnya seperti memiliki dunia. Senyumnya tak berhenti berkembang.

Waktu SD dulu Siska emang sering mewakili SD-nya saat lomba tari 17 Agustus-an dan lomba-lomba sejenis. Dia juga sempat ikut kelas balet waktu masih balita dulu. Nggak lama sih, tapi sedikit banyak ikut membentuk skill dan emosi Siska saat ini. Kak Ella sampai terkesima dengan penampilan Siska itu.

Maka usai latihan, kak Ella langsung menghampiri Siska dan menawarinya jadi pemeran malaikat Gabriel,  pewarta kabar gembira.

“Kamu pasti bisa. Kamu mau kan?”

Siska melambung lagi. Wah, jadi pemeran malaikat Gabriel....

“Tapi aku kurang bisa menghafal, kak. Dialog malaikat Gabriel kan banyak.”
          “Ah, itu masalah mudah. Yang penting kamu bersedia, kakak bisa bantu. Gimana, kamu mau kan?”

Kini kak Ella bertanya setengah memaksa. Maka apa yang bisa dilakukan Siska selain menganggukan kepalanya.

“Heh, maksud kamu apa sih? Katanya mau deketin pangeran Resto?” berondong Titan begitu mereka keluar aula.

“Aku juga nggak ngerti kenapa tiba-tiba setuju sama tawaran kak Ella.”

Titan mendengus.

“Tadi semua anggota koor udah kepilih. Kamu nggak punya kesempatan lagi, Sis.”
          Siska terdiam beberapa saat. Saat itu seorang cowok hitam manis melambai ke arah mereka dari atas motor bebeknya.

“Eh, itu kan kak Roby!” seru Titan.

“Iya, ya. Kak Roby!!” Siska menjerit girang. Lalu mereka menghambur ke arah cowok itu. Begitu tiba, Siska langsung mengeluarkan cubitan-cubitan mautnya.

“Kak Roby kok lama nggak kelihatan? Ini baru darimana?”

“Eh, udah, udah! Geli tahu! Kakak baru dari latihan bola. Dua minggu ini kakak lagi musim ujian. Kudu belajar keras, jadi jarang keluar rumah.”

“Tapi sekarang ujiannya udah selesai kan?” tanya Siska manja.

“Tahu aja....”

“Kak Roby mau jemput Siska nih?” tanya Titan.

“Sebenarnya sih gitu. Tapi tadi aku lihat kalian berdua diskusinya serius benar. Cowok mana nih yang mau dilumpuhkan?”

“Eh, kok tahu kak? Iya emang Siska sekarang lagi.... auw!!”

Titan mau nyerocos panjang lebar tapi tidak jadi karena perutnya dicubit gemas oleh Siska.

“Jangan didengar kak. Titan tuh hobi banget ngegosip, cocok jadi wartawan infotainment. Ya udah deh. Kak, kita langsung pulang, yuk.”

Siska langsung naik ke boncengan motor Roby.

“Rumah Titan deket kok. Lagian dia kan udah gede, udah bisa jalan sendiri. Iya kan, Tan?” goda Siska dari atas motor.

“Iya, iya,” sahut Siska sambil meringis memegangi perutnya.

“OK, kalau gitu, kakak sama Siska duluan ya, Tan?” pamit Roby.

“Iya kak.”

“Dah Titan...”

Titan balas melambaikan tangan. Roby menstarter motornya dan mereka pun meninggalkan tempat itu.

***************************

Roby sebenarnya teman almarhum kakak Siska. Mereka berteman sangat akrab sejak SMU. Sampai dua tahun lalu saat kakak Siska mengalami kecelakaan berat akibat kelalaian seorang supir truk. Sebelum meninggal, kakak Siska sempat berpesan agar Roby menggantikannya menjaga adik semata wayangnya itu. Roby pun berjanji menyanggupinya, apalagi dia dan Siska juga emang sudah dekat sebelumnya. Yang bikin mereka semakin klop, Roby dibesarkan dalam keluarga single parent, dia pengen banget punya adik tapi ibunya nggak berniat mencari pengganti ayahnya. Sementara Siska kehilangan kakak. Jadi kalau keakraban mereka diperhatikan, emang seperti saudara kandung aja.

Kini keduanya lagi asyik ngebakso di warung langganan Roby. Roby yang punya inisiatif mentraktir Siska, sekalian dia ingin memancing kata-kata Siska. Dia tahu ada sesuatu yang disimpan adik angkatnya itu. Dan jurus Roby ternyata ampuh. Sambil mengunyah butiran baksonya perlahan, Siska pun mencurahkan semua isi hatinya, utuh tanpa sensor. Mulai dari siapa itu pangeran Resto, sampai peran malaikat dalam drama Natal nanti. Roby pun mendengarkan dengan seksama.

“Jadi gimana kak? Ng.. sebenarnya wajar nggak sih di usia Siska ini jatuh cinta?”

Pertanyaan Siska itu mengakhiri curhat session-nya barusan. Roby tersenyum tipis sambil mengaduk-aduk sisa baksonya. Dia sedang menyusun kata-kata yang akan dilontarkannya.

“Yah,... menurut kakak wajar-wajar aja. Di usia kamu ini udah wajar kok kalau mulai tertarik sama lawan jenis. Kakak aja waktu SMP dulu juga mulai cinta-cintaan gitu. Sama kakak kelas lagi.”

“Haah?!” mata Siska membelalak.

“Teman-teman kakak dulu sampai jungkir balik nyomblangin kakak sama cewek itu. Eh, tahu-tahu dia pindah keluar kota.”

“Trus... Trus...!?”

“Ya, setelah itu... Yee, kok jadi malah kakak yang curhat. Ya, itu tadi. Nggak ada yang salah dengan perasaan kamu selama itu tidak mengganggu kegiatan kamu yang lain seperti studi misalnya. Jadi menurut kakak just go with the flow. Lalu keputusan kamu untuk jadi pemeran malaikat Gabriel itu udah bener banget. Nggak perlu maksa diri jadi anggota koor kalau nggak sesuai dengan kata hati kamu.”

Siska manggut-manggut mendengar jawaban Roby yang panjang itu.

“Jadi sekarang, jadilah malaikat yang baik. Kakak tahu kamu mampu. Ok?”

Sekali lagi Siska mengangguk.

“OK pak guru,” sahutnya lalu tersenyum manis.

Roby pun mengacak-acak gemas poni Siska.

Dan emang nasihat Roby ampuh banget. Hari-hari selanjutnya dilalui Siska dengan penuh semangat. Tiap kali ada latihan, Siska selalu bersungguh-sungguh mendalami karakternya. Malah belakangan dia kelihatan jadi menikmati peranannya. Tentunya tidak lupa sesekali dari atas panggung latihan dia mencuri pandang ke arah Resto yang tetap cool dan cakep seberapa sering pun dipandangi. Misi yang satu ini nggak boleh dilupain. Eh, sepertinya Resto juga ada perhatian khusus pada Siska. Dia juga sering banget curi-curi pandang ke arah malaikat cantik di depan. Padahal yang seharusnya dipelototin itu kan teks lagu. Malah beberapa kali sempat ketangkap basah oleh.... Siska sendiri. Dan bila itu terjadi, keduanya langsung mengalihkan pandangan ke arah lain, pura-pura cuek, padahal dalam hati ketar-ketir gak keruan. Hehehe,... cinta emang aneh.

Akhirnya.... dua hari lagi Natal dan sore ini diadakan gladi resik. Jadi semua yang ikut ambil bagian untuk pentas nanti mulai dari drama, paduan suara, tari, puisi dan lain-lain latihan bareng di aula. Saat ini terdengar lagu “Holy Night” mengalun indah dari bibir anak-anak paduan suara. Sementara itu di belakang panggung, Siska yang sudah berkostum malaikat lengkap, serba putih plus sayap imitasi nampak repot merapikan poninya. Anak-anak lain di sekitar situ juga tak kalah sibuknya mengurusi penampilan mereka.

“Udah, kamu udah cantik kok.”

Kak Ella menghampiri Siska. Siska pun tersenyum.

“Makasih, kak.”

“Buat kali ini Resto terkagum-kagum dengan penampilan kamu. OK?”

“Haah!!?”

Siska menatap tak percaya ke wajah kak Ella. Perlahan tapi pasti semburat merah memenuhi wajahnya. Kak Ella tersenyum gemas sambil mencubiti hidung Siska.

“Uugh..., kakak aja jadi gemas melihat wajah kamu yang bersemu gini. Apalagi pangeran kamu di luar sana. Eh, lagunya hampir abis tuh. siap-siap ya, kakak ke belakang ngurusin teman kamu yang lain.

Niat Siska yang mau bikin investigasi mendadak terpaksa diurungkan karena kak Ella langsung pergi dan belasan malaikat lainnya udah stand by di belakangnya. Begitu lagu “Holy Night”, back sound sebagai tanda masuknya para malaikat berbunyi. Siska dan belasan malaikat di belakangnya pun memasuki panggung dengan gaya khas mereka yang anggun dan gemulai. And the show goes on.... Mulai dari adegan mengagetkan para gembala, memberitakan kabar gembira, sampai keluar dari panggung, semua berjalan sempurna tanpa cela. Sebelum keluar panggung, pandangan Siska sempat bersirobok dengan tatapan Resto. Cukup lama juga. Namun tak seperti biasanya, kali ini nampak Resto tersenyum kepadanya. Tersenyum hangat, sehangat mentari pagi. Siska pun membalas senyumannya dengan senyuman paling manis yang dia punya.

Setelah seluruh rangkaian gladi resik dan arahan-arahan singkat dari kakak-kakak pembimbing selesai, Siska langsung beres-beres di ruang ganti cewek. Siska tidak melihat batang hidung Titan, padahal dia ingin mencecar anak itu habis-habisan. Maka usai latihan, Siska buru-buru mau ke depan aula. Biasanya usai latihan Titan langsung ngumpul sama geng mereka di situ, gosipin berbagai hal. Mulai dari artis, cowok sampai guru-guru favorit. Tapi baru beberapa langkah setengah berlari, Siska berhenti, terpaku. Di depannya berdiri Resto yang sedang tersenyum kepadanya. Oh my God....!! ternyata cowok cool itu bisa tersenyum semanis ini. Nggak nyangka.

“Ha.... Hai...!,” Siska menyapa kikuk.

“Hai juga,” sahut Resto.

Keduanya sejenak diem-dieman. Siska yang mulai merona lagi berusaha menyembunyikan kegugupannya dengan berjalan pelan ke depan. Resto pun melangkah menjajarinya.

“Penampilan kamu tadi oke banget...”

Thanks....”

“Aku serius nih. Kamu tadi benar-benar kayak malaikat yang turun dari langit.”

Siska tersenyum geli.

“Ah, ada-ada aja. Suara kamu juga tadi bagus banget.”

“Ah, kalau itu sih kamu udah jelas-jelas bohong.”

Kening Siska berkerut.

“Suaraku kan tadi nyampur sama suara anak-anak yang lain. Darimana kamu tahu kalau itu suaraku?”

“Iya, ya. Benar juga.”

Siska tertawa malu, Resto ikut-ikutan tertawa. Perlahan kebekuan di antara mereka mencair.

“Eh, aku dengar kamu suka ngebakso sore-sore. Mau nggak kita ngebakso bareng?” tawar Resto.

“Aku yang traktir, kebetulan aku sudah lapar banget nih. Di depan ada warung bakso yang enak, tempatnya bersih. Nggak jauh kok, jalan kaki paling lima menit nyampe. Mau kan?”

“Yess!! Mau!! Mau! Mau!,” jerit Siska girang, tapi..... dalam hati doang. Jadi orang kudu jaim dikit dong.

“Ng... gimana ya? Yah.... oke-lah. Aku mau.”

“Nah, gitu dong. Kita kesana sekarang yuk?”

“Yuk.”

Siska tersenyum senang. Dia pun berdoa dalam hati, berterimakasih pada Tuhan karena sepertinya boleh menikmati Natal indah pula tahun ini. Dia juga jadi punya satu pertanyaan lagi untuk Titan, tapi itu nanti.

Sementara itu di pojok parkiran dua pasang mata mengawasi mereka sejak tadi. Itu Titan dan kak Roby. Setelah Siska dan Resto menghilang di balik pagar gereja, keduanya pun saling toast gembira.

Ah, Natal emang selalu penuh cerita cinta. Bagaimana dengan kamu?

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 



Ilustrasi gambar dari pixabay.com


Baca Juga Fiksi Keren lainnya:







Komentar