Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Check - In

 


Jenuh, capek dan penat setelah berjam-jam menempuh perjalanan udara dan darat sedikit terobati dengan senyum manis gadis resepsionis. Entah mengapa, raut wajahnya mengingatkanku pada seseorang di masa lalu.

Memori ini semakin kental terasa saat dia menunduk untuk menatap layar komputernya. Kombinasi dahi dan poni seperti itu hanya milik satu orang saja, Jelita namanya, cinta monyet juga mungkin cinta pertamaku, zaman SMA dulu. Hanya saja minus jerawat dan ... lebih glowing.

Tapi sepertinya tidak mungkin. Ekspresinya tidak berubah sejak pertama bertemu tadi, ramah dan hangat, khas resepsionis hotel-hotel ternama. Nama yang tertera di emblemnya juga Raya, bukan Jelita.

Gara-gara sibuk bergelut dengan pikiran sendiri, aku jadi kurang memperhatikan saat dia menjelaskan beberapa peraturan untuk tamu hotel. Tanda tanya di akhir kalimat kesekian yang membuatku kembali fokus.

“Maaf, Mbak. Bagaimana?”

“Ehm, bapak kapan rencana check out-nya?”

“Oh. Lusa rencananya, kalau semua urusan sudah beres.”

Mbak resepsionis mengangguk.

Setelah melakukan transaksi deposit, dia menyerahkan kunci kamar dan mengucapkan salam. Sesaat sebelum aku berbalik, dia menyapa lagi,

“Oh ya, saya panggilkan bellboy ya, pak, buat bantu bawa kopernya.”

“Oh gak perlu, Mbak. Enteng kok ini,” sahutku sambil mengangkat tangan sebagai isyarat.

“Baik, Pak. Oh ya, satu lagi, ...”

 Aku terdiam. Dia juga sepertinya ragu meneruskan ucapannya.

“Bagaimana, Mbak?”
“Pak, benar-benar gak ingat sama saya ya?” kali ini ada sinar yang lain dari wajahnya.

Aku mengernyitkan kening. Jangan-jangan dia benar-benar Jelita?

“Jelita ya?”

Resepsionis mengangguk lalu tertawa renyah. Aku mengurungkan langkah dan kembali ke depan counter.

“Kamu beneran Jelita?” tanyaku masih tidak percaya.

“Iya, Roy.”

Kali ini tidak pakai “pak” lagi, pertanda sekat-sekat kaku di antara kami sudah cair.

“Terus Raya ini siapa?”
Dia tertawa lagi. “Namaku kan Jelita Soraya, Roy, masa lupa sih. Dari kuliah dulu teman-teman lebih sering panggil Raya, jadinya ya keterusan sampai sekarang.”

“Oh gitu,” aku ikut tertawa. “Maaf ya. Jadi pangling, soalnya dibanding ketemu terakhir, 15 tahun lalu ya, kamu lebih ... cantik.”

Raya tertunduk sambil tersipu.

“Eh, kamu selesai kerja jam berapa? Kita ngobrol, yuk,” tanyaku lagi.

“Boleh. Saya tugas sampai jam 5 sore nanti, Roy. Bagaimana?”

Tadi sepintas lalu aku melihat ada cincin yang melingkar di jari manisnya.

“Sip. Tapi ... apa gak apa-apa nih? Tidak ditunggu di rumah?”

“Iya, aku sudah nikah, Roy. Tahun lalu. Tapi gak apa-apa kok. Suami lagi di luar kota. Kamu sendiri bagaimana?”

“Aku?”

“Sudah nikah atau belum?”

“Oh, belum sih. Gak ada yang mau soalnya!”

Dia tertawa lagi. “Gak percaya, ah.”

“Iya, iya. Aku juga gak percaya,” sahutku sambil mengangkat tangan kanan untuk memperlihatkan cincin di jari manisku. “Kita seri jadinya,”

Kami berdua larut dalam tawa. Setelah bertukar nomor telepon aku beranjak ke dalam lift yang mengarahkan ke lantai 10 hotel itu. Ah, jadi tidak sabar menunggu sore tiba. Aku juga jadi penasaran akan ke arah mana saja pembicaraan kami nanti.

--- 



Pertama kali tayang di Kompasiana


Ilustrasi gambar dari pixabay.com


Baca Juga Fiksi Keren lainnya:











Komentar