Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Jenuh, capek dan penat setelah berjam-jam menempuh perjalanan udara dan darat sedikit terobati dengan senyum manis gadis resepsionis. Entah mengapa, raut wajahnya mengingatkanku pada seseorang di masa lalu.
Memori ini semakin kental terasa saat dia
menunduk untuk menatap layar komputernya. Kombinasi dahi dan poni seperti itu
hanya milik satu orang saja, Jelita namanya, cinta monyet juga mungkin cinta
pertamaku, zaman SMA dulu. Hanya saja minus jerawat dan ... lebih glowing.
Tapi sepertinya tidak mungkin. Ekspresinya
tidak berubah sejak pertama bertemu tadi, ramah dan hangat, khas resepsionis
hotel-hotel ternama. Nama yang tertera di emblemnya juga Raya, bukan Jelita.
Gara-gara sibuk bergelut dengan pikiran
sendiri, aku jadi kurang memperhatikan saat dia menjelaskan beberapa peraturan
untuk tamu hotel. Tanda tanya di akhir kalimat kesekian yang membuatku kembali
fokus.
“Maaf, Mbak. Bagaimana?”
“Ehm, bapak kapan rencana check out-nya?”
“Oh. Lusa rencananya, kalau semua urusan sudah
beres.”
Mbak resepsionis mengangguk.
Setelah melakukan transaksi deposit, dia
menyerahkan kunci kamar dan mengucapkan salam. Sesaat sebelum aku berbalik, dia
menyapa lagi,
“Oh ya, saya panggilkan bellboy ya, pak,
buat bantu bawa kopernya.”
“Oh gak perlu, Mbak. Enteng kok ini,” sahutku
sambil mengangkat tangan sebagai isyarat.
“Baik, Pak. Oh ya, satu lagi, ...”
Aku
terdiam. Dia juga sepertinya ragu meneruskan ucapannya.
“Bagaimana, Mbak?”
“Pak, benar-benar gak ingat sama saya ya?” kali ini ada sinar yang lain dari
wajahnya.
Aku mengernyitkan kening. Jangan-jangan dia
benar-benar Jelita?
“Jelita ya?”
Resepsionis mengangguk lalu tertawa renyah. Aku
mengurungkan langkah dan kembali ke depan counter.
“Kamu beneran Jelita?” tanyaku masih tidak
percaya.
“Iya, Roy.”
Kali ini tidak pakai “pak” lagi, pertanda
sekat-sekat kaku di antara kami sudah cair.
“Terus Raya ini siapa?”
Dia tertawa lagi. “Namaku kan Jelita Soraya, Roy, masa lupa sih. Dari kuliah
dulu teman-teman lebih sering panggil Raya, jadinya ya keterusan sampai
sekarang.”
“Oh gitu,” aku ikut tertawa. “Maaf ya. Jadi
pangling, soalnya dibanding ketemu terakhir, 15 tahun lalu ya, kamu lebih ...
cantik.”
Raya tertunduk sambil tersipu.
“Eh, kamu selesai kerja jam berapa? Kita
ngobrol, yuk,” tanyaku lagi.
“Boleh. Saya tugas sampai jam 5 sore nanti,
Roy. Bagaimana?”
Tadi sepintas lalu aku melihat ada cincin yang melingkar
di jari manisnya.
“Sip. Tapi ... apa gak apa-apa nih? Tidak
ditunggu di rumah?”
“Iya, aku sudah nikah, Roy. Tahun lalu. Tapi gak
apa-apa kok. Suami lagi di luar kota. Kamu sendiri bagaimana?”
“Aku?”
“Sudah nikah atau belum?”
“Oh, belum sih. Gak ada yang mau soalnya!”
Dia tertawa lagi. “Gak percaya, ah.”
“Iya, iya. Aku juga gak percaya,” sahutku
sambil mengangkat tangan kanan untuk memperlihatkan cincin di jari manisku.
“Kita seri jadinya,”
Kami berdua larut dalam tawa. Setelah bertukar
nomor telepon aku beranjak ke dalam lift yang mengarahkan ke lantai 10 hotel
itu. Ah, jadi tidak sabar menunggu sore tiba. Aku juga jadi penasaran akan ke
arah mana saja pembicaraan kami nanti.
Komentar