Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Malam Bulan Purnama


 

Di ujung langit, bulan purnama nampak megah dan elegan. Dia nampak seperti seorang raja yang duduk dengan gagah di singgasananya.

Seperti malam bulan purnama yang sudah-sudah, malam ini para manusia serigala akan berubah rupa menjadi wujud keduanya. Jika awalnya mereka adalah manusia biasa, setelah bertransformasi mereka jadi sosok serigala yang tinggi dan besar. Rupa mereka benar-benar menyeramkan, tidak peduli seberapa tampan dan cantiknya mereka dalam rupa manusia.

Bulu lebat menutupi seluruh tubuh mereka. Taring dan cakar-cakarnya menghunus tajam, sanggup merobek daging setebal apapun. Lalu mereka akan bertingkah tidak keruan. Dan lolongan mereka memenuhi langit malam, seperti nyanyian kematian yang didaraskan berulang-ulang.

Desa tempat tinggal mereka berada jauh di dataran tinggi, cukup jauh dari desa-desa terdekat. Mereka memang sudah mempersiapkan diri, agar saat malam seperti ini tiba mereka tidak memiliki kesempatan untuk melukai manusia biasa.

Walaupun demikian, tidak ada manusia biasa yang berkeliaran di luar rumah saat malam purnama tiba. Semuanya memilih diam, memeluk sepi erat-erat. Mengunci rumah dan persembunyian mereka rapat-rapat, sampai malam berpamitan pada fajar. Tidak ada yang berani mengambil risiko. Siapa tahu ada satu atau dua manusia serigala yang tanpa sengaja berada di dekat pemukiman saat itu.

Tapi... sepertinya tidak dengan pemuda itu. Alih-alih bersembunyi jauh-jauh, dia lebih memilih menemani sang kekasih di desa para manusia serigala. Kekasihnya juga adalah manusia serigala, hanya saja dia gadis serigala yang “tidak sempurna”.

Saat manusia serigala yang lain berubah rupa dan melolong penuh kepuasan, dia tetap dalam rupa manusia biasa. Sebagian dari tubuhnya ingin berubah, tapi lebih banyak bagian dari tubuhnya yang tetap ingin menjadi manusia biasa. Jadi yang terjadi dia hanya dilanda kesakitan yang luar biasa saat malam itu tiba. Dan siksaan itu semakin terasa seiring malam mencapai puncaknya.

Oleh karena itu dia disebut lone wolf, serigala yang terasing dari keluarga dan kawanannya sendiri. Menjelang malam purnama tiba, mereka menempatkannya dalam rumah khusus yang dipagar rapat-rapat dengan pintu-pintu dan jendela-jendela dari besi. Bukan untuk memasung dirinya, tapi menjaga agar manusia serigala yang hilang akal tidak berhasil menerebos masuk, demi keamanannya sendiri.

Dan di sanalah mereka, sang pemuda dan gadis serigala, berada saat ini,

Luna, nama gadis itu, sedang terbaring menahan sakit yang dirasakan di sekujur tubuhnya. Rudolf, sang pemuda, menemaninya dengan setia. Sesekali memberinya minum dan membantu mengubah posisi berbaringnya di tempat tidur.

“Rudolf, aku selalu menyusahkanmu di saat-saat seperti ini. Seandainya bisa memilih, aku ingin menjadi manusia biasa saja sepertimu,” ucap Luna lirih dengan latar suara lolongan bersahut-sahutan dari kejauhan di luar sana.

“Sudahlah, Luna. Jangan membebani pikiranmu saat ini. Bagaimanapun juga kamu tidak bisa mengubah takdirmu. Kamu harus tahu, aku tidak akan membiarkanmu menderita sendirian, sampai kapanpun itu, Luna,” sahut Rudolf. Dia memandangi kekasihnya penuh cinta.

Air mata mengalir dari sudut-sudut mata Luna. Dia mendekap tangan Rudolf, lalu tidak lama kemudian mereka berpelukan mesra. Kehangatan mengalir di antara mereka.

Pelukan yang dalam dam mesra itu berlangsung beberapa saat lamanya, sampai ekspresi Rudolf berubah. Dia merasakan pelukan Luna semakin kuat, bahkan kini terasa seperti mencengkeram punggungnya. Dia pun berusaha melepaskan tangan Luna,

“Apa yang terjadi, Luna?”

“Entahlah, Rudolf! Aku merasa ada yang aneh... Akkh...!!”

Luna mengejang dan menjerit kesakitan. “Rudolf! Pergi sekarang .... pergi!!”

“Luna? Kamu ... apa yang terjadi?”

Luna menyeringai dan memamerkan gigi-giginya yang tiba-tiba memanjang. “Pergi....!!” suaranya menjadi serak, telunjuk yang diarahkan ke pintu juga jadi dihiasi kuku yang memanjang dan menghitam.

Dengan sekali sentakan Luna, melayang dari tempat tidur ke arah pojok kamar dan meringkuk di sana. Tubuhnya bergetar seperti menahan kesakitan yang hebat. Dia kembali menjerit nyaring dan panjang ... lalu lama-lama suaranya teriakannya jadi mirip suara lolongan.

Rudolf terduduk lemas. Matanya melotot ke arah pojok kamar. Seumur hidup dia baru pertama kali melihat dengan kepala sendiri seorang manusia serigala berubah. Sayangnya, kali ini terjadi pada kekasihnya sendiri. Sebaiknya dia memang harus segera pergi, tapi di luar sana, keadaan sama saja. Bahkan jauh lebih berbahaya.

Waktu untuk menimbang-nimbang sudah habis. Di depannya kini sosok manusia serigala yang sempurna berdiri menatapnya dengan bengis. Di dalam mata yang melotot merah itu, tidak nampak lagi nalar manusia biasa, tidak sedikitpun.

Serigala raksasa itu pun menerjang Rudolf dengan ganas. Rudolf bahkan tidak punya waktu untuk menjerit kesakitan.

Beberapa saat kemudian, dia sudah terbaring berlumur darah dengan tubuh yang koyak di sana-sini. Anehnya, dia masih bisa tersenyum. Senyumnya jadi terlihat aneh, karena mestinya saat ini dia sedang kesakitan meregang nyawa.

“Ah, akhirnya kamu menjadi manusia serigala yang sempurna, Sayangku,” ucapnya terbata-bata, lalu mengembuskan napas terakhir.

Sementara itu Luna meraung dan melolong, berloncatan dari sudut kamar yang satu ke sudut kamar yang lain, mencoba menerobos pintu dan jendela yang menghalanginya bergabung dengan kawanan di luar sana.


Pertama kali tayang di Kompasiana


Ilustrasi gambar dari pixabay.com


Baca Juga Fiksi Keren lainnya:


 


Komentar