Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Di ujung langit, bulan purnama nampak megah dan elegan. Dia nampak seperti seorang raja yang duduk dengan gagah di singgasananya.
Seperti malam bulan purnama yang sudah-sudah, malam
ini para manusia serigala akan berubah rupa menjadi wujud keduanya. Jika
awalnya mereka adalah manusia biasa, setelah bertransformasi mereka jadi sosok
serigala yang tinggi dan besar. Rupa mereka benar-benar menyeramkan, tidak
peduli seberapa tampan dan cantiknya mereka dalam rupa manusia.
Bulu lebat menutupi seluruh tubuh mereka.
Taring dan cakar-cakarnya menghunus tajam, sanggup merobek daging setebal
apapun. Lalu mereka akan bertingkah tidak keruan. Dan lolongan mereka memenuhi
langit malam, seperti nyanyian kematian yang didaraskan berulang-ulang.
Desa tempat tinggal mereka berada jauh di
dataran tinggi, cukup jauh dari desa-desa terdekat. Mereka memang sudah
mempersiapkan diri, agar saat malam seperti ini tiba mereka tidak memiliki
kesempatan untuk melukai manusia biasa.
Walaupun demikian, tidak ada manusia biasa yang
berkeliaran di luar rumah saat malam purnama tiba. Semuanya memilih diam, memeluk
sepi erat-erat. Mengunci rumah dan persembunyian mereka rapat-rapat, sampai
malam berpamitan pada fajar. Tidak ada yang berani mengambil risiko. Siapa tahu
ada satu atau dua manusia serigala yang tanpa sengaja berada di dekat pemukiman
saat itu.
Tapi... sepertinya tidak dengan pemuda itu. Alih-alih
bersembunyi jauh-jauh, dia lebih memilih menemani sang kekasih di desa para
manusia serigala. Kekasihnya juga adalah manusia serigala, hanya saja dia gadis
serigala yang “tidak sempurna”.
Saat manusia serigala yang lain berubah rupa
dan melolong penuh kepuasan, dia tetap dalam rupa manusia biasa. Sebagian dari
tubuhnya ingin berubah, tapi lebih banyak bagian dari tubuhnya yang tetap ingin
menjadi manusia biasa. Jadi yang terjadi dia hanya dilanda kesakitan yang luar
biasa saat malam itu tiba. Dan siksaan itu semakin terasa seiring malam
mencapai puncaknya.
Oleh karena itu dia disebut lone wolf,
serigala yang terasing dari keluarga dan kawanannya sendiri. Menjelang malam
purnama tiba, mereka menempatkannya dalam rumah khusus yang dipagar rapat-rapat
dengan pintu-pintu dan jendela-jendela dari besi. Bukan untuk memasung dirinya,
tapi menjaga agar manusia serigala yang hilang akal tidak berhasil menerebos
masuk, demi keamanannya sendiri.
Dan di sanalah mereka, sang pemuda dan gadis
serigala, berada saat ini,
Luna, nama gadis itu, sedang terbaring menahan
sakit yang dirasakan di sekujur tubuhnya. Rudolf, sang pemuda, menemaninya
dengan setia. Sesekali memberinya minum dan membantu mengubah posisi
berbaringnya di tempat tidur.
“Rudolf, aku selalu menyusahkanmu di saat-saat
seperti ini. Seandainya bisa memilih, aku ingin menjadi manusia biasa saja
sepertimu,” ucap Luna lirih dengan latar suara lolongan bersahut-sahutan dari
kejauhan di luar sana.
“Sudahlah, Luna. Jangan membebani pikiranmu
saat ini. Bagaimanapun juga kamu tidak bisa mengubah takdirmu. Kamu harus tahu,
aku tidak akan membiarkanmu menderita sendirian, sampai kapanpun itu, Luna,”
sahut Rudolf. Dia memandangi kekasihnya penuh cinta.
Air mata mengalir dari sudut-sudut mata Luna.
Dia mendekap tangan Rudolf, lalu tidak lama kemudian mereka berpelukan mesra.
Kehangatan mengalir di antara mereka.
Pelukan yang dalam dam mesra itu berlangsung beberapa
saat lamanya, sampai ekspresi Rudolf berubah. Dia merasakan pelukan Luna
semakin kuat, bahkan kini terasa seperti mencengkeram punggungnya. Dia pun
berusaha melepaskan tangan Luna,
“Apa yang terjadi, Luna?”
“Entahlah, Rudolf! Aku merasa ada yang aneh...
Akkh...!!”
Luna mengejang dan menjerit kesakitan. “Rudolf!
Pergi sekarang .... pergi!!”
“Luna? Kamu ... apa yang terjadi?”
Luna menyeringai dan memamerkan gigi-giginya
yang tiba-tiba memanjang. “Pergi....!!” suaranya menjadi serak, telunjuk yang
diarahkan ke pintu juga jadi dihiasi kuku yang memanjang dan menghitam.
Dengan sekali sentakan Luna, melayang dari
tempat tidur ke arah pojok kamar dan meringkuk di sana. Tubuhnya bergetar
seperti menahan kesakitan yang hebat. Dia kembali menjerit nyaring dan panjang
... lalu lama-lama suaranya teriakannya jadi mirip suara lolongan.
Rudolf terduduk lemas. Matanya melotot ke arah
pojok kamar. Seumur hidup dia baru pertama kali melihat dengan kepala sendiri
seorang manusia serigala berubah. Sayangnya, kali ini terjadi pada kekasihnya
sendiri. Sebaiknya dia memang harus segera pergi, tapi di luar sana, keadaan
sama saja. Bahkan jauh lebih berbahaya.
Waktu untuk menimbang-nimbang sudah habis. Di
depannya kini sosok manusia serigala yang sempurna berdiri menatapnya dengan
bengis. Di dalam mata yang melotot merah itu, tidak nampak lagi nalar manusia
biasa, tidak sedikitpun.
Serigala raksasa itu pun menerjang Rudolf
dengan ganas. Rudolf bahkan tidak punya waktu untuk menjerit kesakitan.
Beberapa saat kemudian, dia sudah terbaring
berlumur darah dengan tubuh yang koyak di sana-sini. Anehnya, dia masih bisa
tersenyum. Senyumnya jadi terlihat aneh, karena mestinya saat ini dia sedang kesakitan
meregang nyawa.
“Ah, akhirnya kamu menjadi manusia serigala
yang sempurna, Sayangku,” ucapnya terbata-bata, lalu mengembuskan napas
terakhir.
Sementara itu Luna meraung dan melolong,
berloncatan dari sudut kamar yang satu ke sudut kamar yang lain, mencoba
menerobos pintu dan jendela yang menghalanginya bergabung dengan kawanan di
luar sana.
Komentar