Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Peri Gigi

 


Semilir angin membelai rambut Viola. Kendati demikian dia tetap merasa gerah di balik jas almamater biru benhur-nya. Berpasang-pasang mata dengan pandangan tak mengenakkan mengiringi langkahnya di sepanjang koridor fakultas. Viola berusaha tak peduli, dia sudah terbiasa dengan situasi seperti itu.

“Viola….!,”

Suara bariton renyah menyapa gendang pendengarannya. Refleks Viola berbalik, menghempaskan rambut lurus sepanjang bahu untuk mengetahui siapa yang menyapanya. Ah, Rafli rupanya.

Cowok jangkung itu setengah berlari menghampirinya.

“Kamu dipanggil dari tadi kok gak nyahut-nyahut?” sambung Rafli begitu langkah mereka berjajaran.

Kawan-kawan kamu itu loh, batin Viola. Tapi yang terucap dari bibirnya, “Oh ya, Maaf ya! Aku nggak dengar kamu manggil…,”

“Padahal aku mau balikin buku Pengantar Manajemen kamu…”

“Ooh,… ” Viola manggut-manggut.

Rafli bercakap-cakap sambil menatap matanya, tapi Viola terlalu malu untuk menatap balik. Dia takut ketar-ketir di hatinya jadi kelihatan ke permukaan wajahnya.

“Eh, kita kekantin yuk, ke warungnya bu Laksmi. Aku traktir deh…,”

Langkah Viola terhenti, dia senang sih tapi ragu juga.

“Mm.. ng… aku.. Aku sudah ada… janji sama dosen siang ini,”

Mata bola Rafli memancarkan sinar kecewa, tapi seperti tak mau menyerah, Rafli meraih tangan kanan Viola. Lalu sedikit memaksa Viola menjajari langkahnya.

“Ayuk, bentar aja kok.

Viola ingin menolak, tapi kakinya malah tak berdaya dengan hati kecilnya mengikuti ajakan Rafli.

“Nah, gitu dong,” Rafli tersenyum.

Dua sejoli itu pun melangkah riang sampai seorang cewek menghadang langkah mereka. Cewek itu berwajah oriental, cantik, berambut panjang tetapi menatap judes ke arah Viola.

“Mauren…. ,” Rafli menyapa kikuk.

Cewek bernama Mauren itu pun dengan kasar menarik tangan Rafli menjauh dari sisi Viola. Beberapa mahasiswa dan mahasiswi disekitar situ sejenak menghentikan aktivitas mereka untuk mengamati kelanjutan adegan itu.

Mauren mendongak untuk menatap mata Rafli “Kamu lupa ya, sudah janji sama aku!...,”

Kening Rafli mengernyit, “Janji apa ya? Kita…”

 

“…itu lohh, mau nganter aku ke butik sepupu kamu.”

“Ooh, tapi itu kan bisa kapan-kapan Ren, aku.. aku,”

Pleaseee……, “ Mauren merajuk manja. Cowok manapun bisa-bisa luluh dengan ekpresi itu.

Pendirian Rafli sekarang goyah.

“Tapi sebelumnya kita ke kost Vita dulu ya, aku mau kasih lihat sesuatu sama kamu…” Mauren mengerling nakal. “….daripada jalan sama anak gak jelas silsilahnya itu!” Mauren melirik judes ke Viola lagi.

Viola tertunduk. Tanpa melihat sekalipun, dia tahu orang-orang di sekitar situ saat ini pasti sedang tersenyum  jahat ke arahnya.

“Viola, aku… Sorry ya aku…., Eh, ini buku kamu…”

Viola mengambil buku panjang tebal dari tangan Rafli dengan lesu,

“Cepeeet…!!” sergah Mauren sambil mendorong buku itu. “Kita jalan sekarang yaa,”

“Viola, aku tinggal ya…,“

Viola tidak menanggapi. Dia kini berjalan gontai meninggalkan Rafli dan Mauren. Ekor matanya menangkap kedua orang itu yang kini juga bergerak menjauh darinya. Sekalipun membisu, Viola merasakan api kemarahan sedang membakar hatinya saat ini. Siapapun boleh menghinanya, dia sudah biasa. Tapi tidak di depan Rafli apalagi sampai membawa pergi Rafli darinya.

Mauren memang sahabat Rafli, tapi mereka bukan sepasang kekasih. Jadi sebenarnya Mauren tidak punya hak mengatur-atur kehidupan Rafli.

Nyala api itu semakin besar dan hampir melumat seluruh kesabaran Viola.

*******************

Kadang kehidupan tidak jadi jalan yang mulus bagi sebagian orang. Mungkin nasib itu kini tengah melanda Viola. Gadis pendiam itu memang tidak pernah tahu siapa ayah dan ibunya. Dulu seorang wanita pekerja seks yang tidak tega membunuh bayi yang sedang dikandungnya menunggu sampai bayinya lahir dan beberapa waktu kemudian diam-diam menaruhnya di teras sebuah panti asuhan kecil.

Tangis bayi itu kemudian membangunkan seluruh penghuni panti. Ibu tua pemilik panti yang selama ini  berjibaku mengelola keping demi keping rupiah untuk menghidupi belasan anak-anak tak beribu ayah mengernyitkan kening karena bayi itu bakalan menambah biaya lagi. Tapi raut wajah innocent bayi mungil itu membuat hati nuraninya luluh. Sehingga sejak pagi itu, bayi innocent resmi menjadi penghuni panti, berbagi makanan yang selalu tidak cukup, kasur-kasur tua, dan kasih sayang ibu bersama belasan anak-anak lain.  Ibu panti pun memberi nama Viola sebagai nama panggilan bayi itu.

Di tengah kondisi serba kekurangan, Viola tumbuh menjadi anak yang cerdas. Dia selalu berada pada peringkat atas di kelasnya. Berkat kecerdasannya itu, dia pun mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan menengah atas pada sekolah bergengsi. Sejak itulah dia mulai mencicipi kerasnya kehidupan. Kawan-kawan sekolahnya yang rata-rata anak orang berada tidak bisa dengan mudah menerima seorang kawan yang lingkungannya berbeda 180 derajat dengan lingkungan mereka. Kawan yang mem-bully atau tidak senang dengannya jauh lebih banyak dari kawan yang peduli padanya.

Namun prestasi Viola tidak meredup. Oleh karena itu ibu panti juga dengan gigih mengusahakan jalan terbaik agar Viola bisa menuntaskan pendidikannya. Kegigihan ibu Panti membuahkan hasil. Seorang ibu pengusaha sukses yang sudah tak bersuami lagi, bersedia menjadi ibu angkat Viola. Ibu itu pun memasukkan Viola ke universitas terbaik di kota itu.

Tipe kawan-kawan yang ditemuinya di bangku sekolah tidak jauh berbeda dengan yang ditemuinya di lingkungan kampus. Untunglah Viola sudah terbiasa hidup berteman hinaan dan ejekan. Itu juga yang membuat dia jarang punya kawan akrab, sebagian besar waktunya dihabiskan untuk mengasingkan diri.

Selain diberi label sebagai anak yang tidak jelas asal usulnya, Viola juga akhir-akhir ini diberi cap baru yaitu pengikut aliran sesat. Terdengar desas-desus kalau beberapa mahasiswa pernah menemukan benda-benda aneh dalam tasnya seperti potongan tengkorak dan buku tua berisi aksara-aksara kuno di dalamnya.

Benar tidaknya desas-desus tersebut, hanya Tuhan dan Viola yang tahu.

*********

Cahaya petir mengiris-ngiris langit malam pertanda tak lama lagi hujan turun.  Udara dingin menggigit pori-pori.

Dinginnya malam juga terpancar dari wajah Viola. Kamar kostnya yang lengang nampak temaram, karena lampu-lampu listrik dipadamkan.  Penerangan yang ada berasal dari enam buah lilin yang diletakkan di atas lantai keramik. Lilln-lilin tersebut diletakkan teratur di sudut-sudut hexagram yang digambar Viola di lantai kamarnya.

Viola sendiri kini bersila di luar hexagram sambil memegang sebuah kitab lusuh. Aksara-aksara dalam kitab itu nampak asing. Tapi sepertinya Viola bisa mengeja simbol demi simbol dengan baik. Bibirnya sejak tadi bergerak-gerak seirama dengan rima ejaan pada kitab tersebut. Sesekali Viola mengambil jeda, lalu melakukan gerakan aneh, meliukkan badan sambil membuka kedua tangannya lebar-lebar seperti meminta langit segera menurunkan hujan deras.

Semakin lama gumamannya semakin lantang. Gerakan tubuhnya juga semakin kencang. Lalu dipuncak bacaan, Viola mengambil sesuatu di dalam tas kain lusuh yang tergeletak disampingnya. Sesuatu itu kini berpindah dalam genggamannya, lalu setelah mengucapkan kata-kata pamungkas Viola melempar isi genggamannya ke tengah-tengah hexagram. Benda-benda kecil itu jatuh begeratak di atas lantai. Rupanya seperti gigi geraham manusia, bukan hanya sebuah, tapi ada beberapa.

Sedetik kemudian, hawa ruangan mendadak menyengat, seperti suhu oven pemanggang roti. Lalu sekonyong-konyong muncul asap hitam tipis yang berputar-putar di atas hexagram. Asap hitam tersebut semakin lama semakin tebal.

Viola nampak puas menatap fenomena astral itu. Kilatan api dendam kembali muncul dari sepasang matanya.

**********************

Keesokan paginya kampus dihebohkan oleh berita tragis. Seorang mahasiswi ditemukan mati mengenaskan di dalam kamar kostnya. Sekujur tubuh mahasiswa tersebut penuh darah dan luka cabikan. Diduga dia mati kehabisan darah. Bukan manusia pelakunya tapi sejenis binatang buas.

Hanya saja pihak berwenang yang menyelidiki kasus itu masih bingung menyingkap tabir misteri kematiannya. Tidak ada tanda-tanda penerebosan di kamar kost itu. Jejak yang ditinggalkan makhluk buas tersebut juga sama sekali tak nampak.

Mahasiswi tersebut bernama Vita, kawan akrab Mauren.

 

Mauren baru bisa menyembuhkan rasa kehilangannya berminggu-minggu setelah peristiwa tragis itu terjadi.

********

Mauren mengikuti seni drama, salah satu unit kegiatan mahasiswa di kampusnya. Dua kali seminggu mereka berkumpul untuk melatihan keterampilan seni peran di aula yang memang disediakan universitas untuk keperluan unit kegiatan mahasiswa tersebut. Anak-anak seni drama ini berlatih sampai sore dan biasanya masih dilanjutkan kongkow-kongkow sampai malam cukup larut.

Tapi malam ini usai latihan aktivitas itu tidak nampak. Mungkin salah satu alasannya adalah suhu udara malam ini yang cukup dingin menggigit. Siapapun ingin segera kembali ke rumah dan melabuhkan diri di atas kasur hangat.

Mauren sendiri usai latihan membawa pakaian ganti ke toilet fakultas. Ruangan toilet untuk ladies cukup luas. Ruangan tersebut berbentuk persegi panjang dengan bilik-bilik toilet di sebelah kirnya.  Namun keadaannya saat ini cukup sepi sehingga Mauren leluasa memilih bilik toilet yang akan digunakan untuk berganti pakaian. Dia pun memilih lokasi favoritnya, kamar mandi paling ujung. Di situ ukuran kamar mandinya lebih lapang dari yang lain, juga ada cermin yang bisa digunakan untuk merias diri.

Begitu selesai menyalin pakaian, Mauren keluar kamar mandi. Tetapi dia sedikit terkejut melihat sosok yang kini berdiri di depan pintu keluar ruangan toilet itu. Viola. Tatapan Viola begitu dingin dan begitu hampa. Mauren sedikit bergidik memandangnya.

Viola masuk dan menutup pintu ruangan tersebut dari dalam.

“Viola! Mau apa kamu?” Mauren menegur ketus, tapi dia tidak bisa menyembunyikan kegugupannya.

Viola tidak menyahut. Dia masih menatap dingin sosok Mauren. Jemarinya diarahkan ke belakang punggung, perlahan-lahan memutar kenop kunci pintu dibelakangnya. Refleks, Mauren melangkah mundur.

“Lihat,…” Viola buka suara. Nadanya tetap terdengar dingin. “Nyatanya kamu tidak ada apa-apanya tanpa geng kamu bukan?”

“Kamu maju selangkah lagi… aku bakal teriak kenceng!!” ancam Mauren.

Viola menggeleng sambil tersenyum satir. “Aku pastikan tidak akan ada yang mendengar…”

Viola maju selangkah lagi, ujung telunjuknya diletakkan di depan saklar ruangan.

“Perkenalkan……,” Viola menyentak telunjuknya, lalu seluruh ruangan menjadi gelap gulita. Jeritan Mauren pun terdengar hampir memecahkan gendang telinga. Lampu ruangan menyala kembali.

No.. no.. mereka sangat terobsesi dengan jeritan. Jadi aku sarankan jangan sering-sering melakukan itu.. ,”

Mauren bingung sekaligus merasa ngeri. Viola kenapa tiba-tiba menjadi begitu berubah seperti ini. Dari gadis yang lugu dan pendiam, mendadak jadi mirip gadis psikopat seperti ini. Sesaat kemudian perhatiannya teralih kepada tempat sampah plastik besar di ujung ruangan yang bergerak-gerak. Cicitan bertubi-tubi terdengar dari tempat sampah tersebut, seperti ada puluhan tikus di dalamnya yang ingin segera melesak keluar.

“Mereka tidak suka cahaya terang benderang seperti ini. Jadi mereka bersembunyi sampai aku kembali mematikan lampunya, lalu……. mereka akan keluar mencari mempelainya.”

 

“Apa maksud kamu Viola?” seru Mauren. “Enyah dari situ! Aku ingin keluar….,”

“Hmm…. mereka bilang itu kalimat terakhir yang diucapkan Vita,”

Mata Mauren membelalak.

“Kamu, jadi.. jadi benar yang yang orang bilang. Kamu itu memang penyihir!”

Viola tersenyum dingin. “Aku mengirimkan kutukannya untuk kamu, Mauren! Tapi kamu beruntung mereka sampai sesaat setelah kamu pergi dari kost cewek malang itu…,”

Mauren benar-benar ketakutan sekarang. Kakinya bergetar menahan berat badannya.

“…tapi kali ini aku bisa pastikan kamu tidak bakal lolos dari mereka.”

Bibir Mauren menahan isak “Mereka…. mereka siapa?” ucapnya dengan nada serak karena menahan emosi yang sulit diungkapkan.

“Penasaran…….??, Baiklah! Mari kita tuntaskan saja semuanya…,”

Ctek! Lampu ruangan kembali padam. Pada saat itulah tempat sampah plastik besar tadi terguncang keras dan belasan bahkan puluhan makhluk kecil bersayap seperti kelelawar terbang dari situ. Ukurannya tidak lebih besar dari ukuran seekor anak tikus tapi mereka begitu banyak. Sepasang mata kecil memerah, taring dan kuku seruncing jarum. Semuanya terbang serempak ke arah Mauren.

Mauren yang tidak bisa melihat apa-apa dalam kegelapan terkejut karena tiba-tiba dia merasa seluruh tubuhnya digerayang makhluk asing. Bukan menggerayang saja, gigi mereka juga terasa tajam menancam di permukaan kulitnya. Suara mereka mendecit-decit bersahutan. Mauren pun berseru panjang histeris sambil meronta-ronta, berusaha menghalau makhluk-makhluk tersebut dari tubuhnya.

Tapi percuma. Makhluk-makhluk aneh itu malah semakin buas dan menggigiti Mauren tanpa ampun.

“Violaaa….!!!! Tolooongg….!!! Usir mereka!!”

Lengkingan panjang Mauren terdengar memilukan.

“Violaa… Maafkan akuu…!!”

Erangan Mauren semakin lemah. Tak sampai satu menit… suara Mauren sudah tak terdengar lagi. Kamar mandi sudah lengang seperti kuburan tua.

Viola tersenyum puas.

Tapi hanya sesaat, lalu dia terkejut. Makhluk-makhluk kecil bersayap tersebut kemudian mulai bercicit bersahutan lagi. Viola buru-buru mencari meraba tembok untuk mencari saklar lampu.

Ctek!!

Ruangan tetap gelap.

Ctek!.....  Ctekk!!

Sial!! Listrik pakai padam lagi…!!

Viola pun mengumpulkan segenap konsentrasinya lalu melafalkan sebaris kata-kata gaib. Hening sejenak. Lalu makhluk-makhluk itu kembali bercicit seram. Satu dua makhluk malah mulai menyambar Viola. Dengan sigap Viola mengebaskan beberapa yang menempel di tangannya, kali ini dia berteriak garang menyerukan bahasa-bahasa aneh.

Sepertinya berhasil, karena makhluk-makhluk itu mulai terbang menjauh memenuhi sudut-sudut kamar mandi. Viola sedikit lega, tapi begitu berbalik hendak menuju ke pintu kamar mandi, sekonyong-konyong tubuhnya tertarik ke belakang dengan deras. Makhluk-makhluk tadi mulai mengerubuti tubuh Viola yang tergeletak di lantai.

Viola kembali membaca keras-keras baris-baris mantra yang muncul di kepalanya. Kali ini tidak berhasil.

Ada yang salah!!

Semakin lama suara seruan Viola semakin tenggelam dalam suara keberingasan makhluk-makhluk tersebut. Viola mulai merasa wajah dan sekujur tubuhnya basah…. oleh darah.

Mereka kelaparan!! Benar-benar kelaparan! ….dan mereka tidak akan pergi sampai…..

Begitu detak jantung Viola berhenti, makhluk-makhluk buas itu mendadak sirna digantikan oleh asap hitam tebal yang memenuhi kamar mandi tersebut. Perlahan-lahan asap hitam menipis lalu lenyap sama sekali.

Pada saat itu listrik mengalir kembali, sehingga ruangan jadi terang benderang. Lalu nampaklah pemandangan mengerikan di ruangan itu. Lantai keramik yang semula putih, kini merah menghitam oleh darah kedua cewek naas yang tergeletak tak berjauhan satu sama lain. Kondisi tubuh keduanya rusak parah. Wajah mereka nyaris tak berbentuk lagi.

*******************

Ditemukannya kedua gadis yang mati mengenaskan pada saat bersamaan menjadi peristiwa sensasional di kampus tersebut. Beritanya beberapa hari menghiasi surat kabar-surat kabar lokal. Kematian gadis pertama belum lagi terungkap, muncul lagi kematian dua gadis lain. Modusnya sama saja. Kematian di ruang tertutup.

Kendati pun kedua gadis tersebut saling serang sampai titik darah penghabisan, mestinya ada bukti-bukti kuat yang ditinggalkan keduanya di TKP. Tapi penyelidikan selalu berhasil nihil.

Sampai tim forensik yang mengotopsi kedua jenazah menemukan satu persamaan, gigi-gigi geraham mereka hilang tak berbekas. Fakta tersebut terjadi pula pada jenazah Vita yang lebih dulu ditemukan mati mengenaskan sebulan lalu. Lalu asumsi penyelidikan pun melebar pada hal-hal di luar logika.

Apalagi pada saat beberapa petugas dari kepolisian memeriksa kondisi kamar kost Viola, mereka menemukan banyak benda-benda yang selama ini hanya terlihat pada film-film bertema sihir hitam.

Seorang penyihir muda yang mati oleh kutukannya sendiri? Bisa jadi.


-----




ilustrasi gambar dari pixabay.com 


Baca Juga Fiksi Keren lainnya:







Komentar