Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Semilir
angin membelai rambut Viola. Kendati demikian dia tetap merasa gerah di balik
jas almamater biru benhur-nya. Berpasang-pasang mata dengan pandangan tak
mengenakkan mengiringi langkahnya di sepanjang koridor fakultas. Viola berusaha
tak peduli, dia sudah terbiasa dengan situasi seperti itu.
“Viola….!,”
Suara
bariton renyah menyapa gendang pendengarannya. Refleks Viola berbalik,
menghempaskan rambut lurus sepanjang bahu untuk mengetahui siapa yang
menyapanya. Ah, Rafli rupanya.
Cowok
jangkung itu setengah berlari menghampirinya.
“Kamu
dipanggil dari tadi kok gak nyahut-nyahut?” sambung Rafli begitu langkah mereka
berjajaran.
Kawan-kawan
kamu itu loh, batin Viola. Tapi yang terucap dari bibirnya, “Oh ya, Maaf ya!
Aku nggak dengar kamu manggil…,”
“Padahal
aku mau balikin buku Pengantar Manajemen kamu…”
“Ooh,…
” Viola manggut-manggut.
Rafli
bercakap-cakap sambil menatap matanya, tapi Viola terlalu malu untuk menatap
balik. Dia takut ketar-ketir di hatinya jadi kelihatan ke permukaan wajahnya.
“Eh,
kita kekantin yuk, ke warungnya bu Laksmi. Aku traktir deh…,”
Langkah
Viola terhenti, dia senang sih tapi ragu juga.
“Mm..
ng… aku.. Aku sudah ada… janji sama dosen siang ini,”
Mata
bola Rafli memancarkan sinar kecewa, tapi seperti tak mau menyerah, Rafli
meraih tangan kanan Viola. Lalu sedikit memaksa
Viola menjajari langkahnya.
“Ayuk,
bentar aja kok.”
Viola
ingin menolak, tapi kakinya malah tak berdaya dengan hati kecilnya mengikuti
ajakan Rafli.
“Nah,
gitu dong,” Rafli tersenyum.
Dua
sejoli itu pun melangkah riang sampai seorang cewek menghadang langkah mereka.
Cewek itu berwajah oriental, cantik, berambut panjang tetapi menatap judes ke
arah Viola.
“Mauren….
,” Rafli menyapa kikuk.
Cewek
bernama Mauren itu pun dengan kasar menarik tangan Rafli menjauh dari sisi
Viola. Beberapa mahasiswa dan mahasiswi disekitar situ sejenak menghentikan
aktivitas mereka untuk mengamati kelanjutan adegan itu.
Mauren
mendongak untuk menatap mata Rafli “Kamu lupa ya, sudah janji sama aku!...,”
Kening
Rafli mengernyit, “Janji apa ya? Kita…”
“…itu
lohh, mau nganter aku ke butik sepupu kamu.”
“Ooh,
tapi itu kan bisa kapan-kapan Ren, aku.. aku,”
“Pleaseee……,
“ Mauren merajuk manja. Cowok manapun bisa-bisa luluh dengan ekpresi itu.
Pendirian
Rafli sekarang goyah.
“Tapi
sebelumnya kita ke kost Vita dulu ya, aku mau kasih lihat sesuatu sama kamu…”
Mauren mengerling nakal. “….daripada jalan sama anak gak jelas silsilahnya
itu!” Mauren melirik judes ke Viola lagi.
Viola
tertunduk. Tanpa melihat sekalipun, dia tahu orang-orang di sekitar situ saat ini pasti
sedang tersenyum jahat ke arahnya.
“Viola,
aku… Sorry ya aku…., Eh, ini buku kamu…”
Viola
mengambil buku panjang tebal dari tangan Rafli dengan lesu,
“Cepeeet…!!”
sergah Mauren sambil mendorong buku itu. “Kita jalan sekarang yaa,”
“Viola,
aku tinggal ya…,“
Viola
tidak menanggapi. Dia kini berjalan gontai meninggalkan Rafli dan Mauren. Ekor
matanya menangkap kedua orang itu yang kini
juga bergerak menjauh darinya. Sekalipun membisu, Viola merasakan api kemarahan
sedang membakar hatinya saat ini. Siapapun boleh menghinanya, dia sudah biasa.
Tapi tidak di depan Rafli apalagi sampai membawa pergi Rafli darinya.
Mauren
memang sahabat Rafli, tapi mereka bukan sepasang kekasih. Jadi sebenarnya
Mauren tidak punya hak mengatur-atur kehidupan Rafli.
Nyala
api itu semakin besar dan hampir melumat seluruh kesabaran Viola.
*******************
Kadang
kehidupan tidak jadi jalan yang mulus bagi sebagian orang. Mungkin nasib itu
kini tengah melanda Viola. Gadis pendiam itu memang tidak pernah tahu siapa
ayah dan ibunya. Dulu seorang wanita pekerja seks yang tidak tega membunuh bayi
yang sedang dikandungnya menunggu sampai bayinya lahir dan beberapa waktu
kemudian diam-diam menaruhnya di teras sebuah panti asuhan kecil.
Tangis
bayi itu kemudian membangunkan seluruh penghuni panti. Ibu tua pemilik panti
yang selama ini berjibaku mengelola keping demi keping rupiah untuk
menghidupi belasan anak-anak tak beribu ayah mengernyitkan kening karena bayi
itu bakalan menambah biaya lagi. Tapi raut wajah innocent bayi mungil
itu membuat hati nuraninya luluh. Sehingga sejak pagi itu, bayi innocent
resmi menjadi penghuni panti, berbagi makanan yang selalu tidak cukup,
kasur-kasur tua, dan kasih sayang ibu bersama belasan anak-anak lain. Ibu
panti pun memberi nama Viola sebagai nama panggilan bayi itu.
Di
tengah kondisi serba kekurangan, Viola tumbuh menjadi anak yang cerdas. Dia
selalu berada pada peringkat atas di kelasnya. Berkat kecerdasannya itu, dia
pun mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan menengah atas pada sekolah
bergengsi. Sejak itulah dia mulai mencicipi kerasnya kehidupan. Kawan-kawan
sekolahnya yang rata-rata anak orang berada tidak bisa dengan mudah menerima
seorang kawan yang lingkungannya berbeda 180 derajat dengan lingkungan mereka.
Kawan yang mem-bully atau tidak senang dengannya jauh lebih banyak dari kawan
yang peduli padanya.
Namun
prestasi Viola tidak meredup. Oleh karena itu ibu panti juga dengan gigih
mengusahakan jalan terbaik agar Viola bisa menuntaskan pendidikannya. Kegigihan
ibu Panti membuahkan hasil. Seorang ibu pengusaha sukses yang sudah tak
bersuami lagi, bersedia menjadi ibu angkat Viola. Ibu itu pun memasukkan Viola
ke universitas terbaik di kota itu.
Tipe
kawan-kawan yang ditemuinya di bangku sekolah tidak jauh berbeda dengan yang
ditemuinya di lingkungan kampus. Untunglah Viola sudah terbiasa hidup berteman
hinaan dan ejekan. Itu juga yang membuat dia jarang punya kawan akrab, sebagian
besar waktunya dihabiskan untuk mengasingkan diri.
Selain
diberi label sebagai anak yang tidak jelas asal usulnya, Viola juga akhir-akhir
ini diberi cap baru yaitu pengikut aliran sesat. Terdengar desas-desus kalau
beberapa mahasiswa pernah menemukan benda-benda aneh dalam tasnya seperti
potongan tengkorak dan buku tua berisi aksara-aksara kuno di dalamnya.
Benar tidaknya
desas-desus tersebut, hanya Tuhan dan Viola yang tahu.
*********
Cahaya
petir mengiris-ngiris langit malam pertanda tak lama lagi hujan turun.
Udara dingin menggigit pori-pori.
Dinginnya
malam juga terpancar dari wajah Viola. Kamar kostnya yang lengang nampak
temaram, karena lampu-lampu listrik dipadamkan. Penerangan yang ada
berasal dari enam buah lilin yang diletakkan di atas lantai keramik.
Lilln-lilin tersebut diletakkan teratur di sudut-sudut hexagram yang digambar
Viola di lantai kamarnya.
Viola
sendiri kini bersila di luar hexagram sambil memegang sebuah kitab lusuh.
Aksara-aksara dalam kitab itu nampak asing. Tapi sepertinya Viola bisa mengeja
simbol demi simbol dengan baik. Bibirnya sejak tadi bergerak-gerak seirama
dengan rima ejaan pada kitab tersebut. Sesekali Viola mengambil jeda, lalu
melakukan gerakan aneh, meliukkan badan sambil membuka kedua tangannya
lebar-lebar seperti meminta langit segera menurunkan hujan deras.
Semakin
lama gumamannya semakin lantang. Gerakan tubuhnya juga semakin kencang. Lalu
dipuncak bacaan, Viola mengambil sesuatu di dalam tas kain lusuh yang
tergeletak disampingnya. Sesuatu itu kini berpindah dalam genggamannya, lalu
setelah mengucapkan kata-kata pamungkas Viola melempar isi genggamannya ke
tengah-tengah hexagram. Benda-benda kecil itu jatuh begeratak di atas lantai.
Rupanya seperti gigi geraham manusia, bukan hanya sebuah, tapi ada beberapa.
Sedetik
kemudian, hawa ruangan mendadak menyengat, seperti suhu oven pemanggang roti.
Lalu sekonyong-konyong muncul asap hitam tipis yang berputar-putar di atas
hexagram. Asap hitam tersebut semakin lama semakin tebal.
Viola
nampak puas menatap fenomena astral itu. Kilatan api dendam kembali muncul dari
sepasang matanya.
**********************
Keesokan
paginya kampus dihebohkan oleh berita tragis. Seorang mahasiswi ditemukan mati
mengenaskan di dalam kamar kostnya. Sekujur tubuh mahasiswa tersebut penuh
darah dan luka cabikan. Diduga dia mati kehabisan darah. Bukan manusia
pelakunya tapi sejenis binatang buas.
Hanya
saja pihak berwenang yang menyelidiki kasus itu masih bingung menyingkap tabir
misteri kematiannya. Tidak ada tanda-tanda penerebosan di kamar kost itu. Jejak
yang ditinggalkan makhluk buas tersebut juga sama sekali tak nampak.
Mahasiswi
tersebut bernama Vita, kawan akrab Mauren.
Mauren
baru bisa menyembuhkan rasa kehilangannya berminggu-minggu setelah peristiwa
tragis itu terjadi.
********
Mauren
mengikuti seni drama, salah satu unit kegiatan mahasiswa di kampusnya. Dua kali
seminggu mereka berkumpul untuk melatihan keterampilan seni peran di aula yang
memang disediakan universitas untuk keperluan unit kegiatan mahasiswa tersebut.
Anak-anak seni drama ini berlatih sampai sore dan biasanya masih dilanjutkan
kongkow-kongkow sampai malam cukup larut.
Tapi
malam ini usai latihan aktivitas itu tidak nampak. Mungkin salah satu alasannya
adalah suhu udara malam ini yang cukup dingin menggigit. Siapapun ingin segera
kembali ke rumah dan melabuhkan diri di atas kasur hangat.
Mauren
sendiri usai latihan membawa pakaian ganti ke toilet fakultas. Ruangan toilet
untuk ladies cukup luas. Ruangan tersebut berbentuk persegi panjang dengan
bilik-bilik toilet di sebelah kirnya. Namun keadaannya saat ini cukup
sepi sehingga Mauren leluasa memilih bilik toilet yang akan digunakan untuk
berganti pakaian. Dia pun memilih lokasi favoritnya, kamar mandi paling ujung.
Di situ ukuran kamar mandinya lebih lapang dari yang lain, juga ada cermin yang
bisa digunakan untuk merias diri.
Begitu
selesai menyalin pakaian, Mauren keluar kamar mandi. Tetapi dia sedikit
terkejut melihat sosok yang kini berdiri di depan pintu keluar ruangan toilet
itu. Viola. Tatapan Viola begitu dingin dan begitu hampa. Mauren sedikit bergidik
memandangnya.
Viola
masuk dan menutup pintu ruangan tersebut dari dalam.
“Viola!
Mau apa kamu?” Mauren menegur ketus, tapi dia tidak bisa menyembunyikan
kegugupannya.
Viola
tidak menyahut. Dia masih menatap dingin sosok Mauren. Jemarinya diarahkan ke
belakang punggung, perlahan-lahan memutar kenop kunci pintu dibelakangnya. Refleks,
Mauren melangkah mundur.
“Lihat,…”
Viola buka suara. Nadanya tetap terdengar dingin. “Nyatanya kamu tidak ada
apa-apanya tanpa geng kamu bukan?”
“Kamu
maju selangkah lagi… aku bakal teriak kenceng!!” ancam Mauren.
Viola
menggeleng sambil tersenyum satir. “Aku pastikan tidak akan ada yang
mendengar…”
Viola
maju selangkah lagi, ujung telunjuknya diletakkan di depan saklar ruangan.
“Perkenalkan……,”
Viola menyentak telunjuknya, lalu seluruh ruangan menjadi gelap gulita. Jeritan
Mauren pun terdengar hampir memecahkan gendang telinga. Lampu ruangan menyala
kembali.
“No..
no.. mereka sangat terobsesi dengan jeritan. Jadi aku sarankan jangan
sering-sering melakukan itu.. ,”
Mauren
bingung sekaligus merasa ngeri. Viola kenapa tiba-tiba menjadi begitu berubah
seperti ini. Dari gadis yang lugu dan pendiam, mendadak jadi mirip gadis
psikopat seperti ini. Sesaat kemudian perhatiannya teralih kepada tempat sampah
plastik besar di ujung ruangan yang bergerak-gerak. Cicitan bertubi-tubi
terdengar dari tempat sampah tersebut, seperti ada puluhan tikus di dalamnya
yang ingin segera melesak keluar.
“Mereka
tidak suka cahaya terang benderang seperti ini. Jadi mereka bersembunyi sampai
aku kembali mematikan lampunya, lalu……. mereka akan keluar mencari
mempelainya.”
“Apa
maksud kamu Viola?” seru Mauren. “Enyah dari situ! Aku ingin keluar….,”
“Hmm….
mereka bilang itu kalimat terakhir yang diucapkan Vita,”
Mata
Mauren membelalak.
“Kamu,
jadi.. jadi benar yang yang orang bilang. Kamu itu memang penyihir!”
Viola
tersenyum dingin. “Aku mengirimkan kutukannya untuk kamu, Mauren! Tapi kamu
beruntung mereka sampai sesaat setelah kamu pergi dari kost cewek malang itu…,”
Mauren
benar-benar ketakutan sekarang. Kakinya bergetar menahan berat badannya.
“…tapi
kali ini aku bisa pastikan kamu tidak bakal lolos dari mereka.”
Bibir
Mauren menahan isak “Mereka…. mereka siapa?” ucapnya dengan nada serak karena
menahan emosi yang sulit diungkapkan.
“Penasaran…….??,
Baiklah! Mari kita tuntaskan saja semuanya…,”
Ctek! Lampu ruangan kembali padam.
Pada saat itulah tempat sampah plastik besar tadi terguncang keras dan belasan
bahkan puluhan makhluk kecil bersayap seperti kelelawar terbang dari situ.
Ukurannya tidak lebih besar dari ukuran seekor anak tikus tapi mereka begitu
banyak. Sepasang mata kecil memerah, taring dan kuku seruncing jarum. Semuanya
terbang serempak ke arah Mauren.
Mauren
yang tidak bisa melihat apa-apa dalam kegelapan terkejut karena tiba-tiba dia
merasa seluruh tubuhnya digerayang makhluk asing. Bukan menggerayang saja, gigi
mereka juga terasa tajam menancam di permukaan kulitnya. Suara mereka
mendecit-decit bersahutan. Mauren pun berseru panjang histeris sambil
meronta-ronta, berusaha menghalau makhluk-makhluk tersebut dari tubuhnya.
Tapi
percuma. Makhluk-makhluk aneh itu malah semakin buas dan menggigiti Mauren
tanpa ampun.
“Violaaa….!!!!
Tolooongg….!!! Usir mereka!!”
Lengkingan
panjang Mauren terdengar memilukan.
“Violaa…
Maafkan akuu…!!”
Erangan
Mauren semakin lemah. Tak sampai satu menit… suara Mauren sudah tak terdengar
lagi. Kamar mandi sudah lengang seperti kuburan tua.
Viola
tersenyum puas.
Tapi
hanya sesaat, lalu dia terkejut. Makhluk-makhluk kecil bersayap tersebut
kemudian mulai bercicit bersahutan lagi. Viola buru-buru mencari meraba tembok
untuk mencari saklar lampu.
Ctek!!
Ruangan
tetap gelap.
Ctek!.....
Ctekk!!
Sial!!
Listrik pakai padam lagi…!!
Viola
pun mengumpulkan segenap konsentrasinya lalu melafalkan sebaris kata-kata gaib.
Hening sejenak. Lalu makhluk-makhluk itu kembali bercicit seram. Satu dua
makhluk malah mulai menyambar Viola. Dengan sigap Viola mengebaskan beberapa
yang menempel di tangannya, kali ini dia berteriak garang menyerukan
bahasa-bahasa aneh.
Sepertinya
berhasil, karena makhluk-makhluk itu mulai terbang menjauh memenuhi sudut-sudut
kamar mandi. Viola sedikit lega, tapi begitu berbalik hendak menuju ke pintu
kamar mandi, sekonyong-konyong tubuhnya tertarik ke belakang dengan deras.
Makhluk-makhluk tadi mulai mengerubuti tubuh Viola yang tergeletak di lantai.
Viola
kembali membaca keras-keras baris-baris mantra yang muncul di kepalanya. Kali
ini tidak berhasil.
Ada
yang salah!!
Semakin
lama suara seruan Viola semakin tenggelam dalam suara keberingasan
makhluk-makhluk tersebut. Viola mulai merasa wajah dan sekujur tubuhnya basah….
oleh darah.
Mereka
kelaparan!! Benar-benar kelaparan! ….dan mereka tidak akan pergi sampai…..
Begitu
detak jantung Viola berhenti, makhluk-makhluk buas itu mendadak sirna
digantikan oleh asap hitam tebal yang memenuhi kamar mandi tersebut.
Perlahan-lahan asap hitam menipis lalu lenyap sama sekali.
Pada
saat itu listrik mengalir kembali, sehingga ruangan jadi terang benderang. Lalu
nampaklah pemandangan mengerikan di ruangan itu. Lantai keramik yang semula
putih, kini merah menghitam oleh darah kedua cewek naas yang tergeletak tak
berjauhan satu sama lain. Kondisi tubuh keduanya rusak parah. Wajah mereka
nyaris tak berbentuk lagi.
*******************
Ditemukannya
kedua gadis yang mati mengenaskan pada saat bersamaan menjadi peristiwa
sensasional di kampus tersebut. Beritanya beberapa hari menghiasi surat
kabar-surat kabar lokal. Kematian gadis pertama belum lagi terungkap, muncul
lagi kematian dua gadis lain. Modusnya sama saja. Kematian di ruang tertutup.
Kendati
pun kedua gadis tersebut saling serang sampai titik darah penghabisan, mestinya
ada bukti-bukti kuat yang ditinggalkan keduanya di TKP. Tapi penyelidikan
selalu berhasil nihil.
Sampai
tim forensik yang mengotopsi kedua jenazah menemukan satu persamaan, gigi-gigi
geraham mereka hilang tak berbekas. Fakta tersebut terjadi pula pada jenazah
Vita yang lebih dulu ditemukan mati mengenaskan sebulan lalu. Lalu asumsi
penyelidikan pun melebar pada hal-hal di luar logika.
Apalagi
pada saat beberapa petugas dari kepolisian memeriksa kondisi kamar kost Viola,
mereka menemukan banyak benda-benda yang selama ini hanya terlihat pada
film-film bertema sihir hitam.
Seorang
penyihir muda yang mati oleh kutukannya sendiri? Bisa jadi.
-----
Komentar