Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Dua Hati Seribu Musim



Musim hujan di hatimu
ditemani secangkir kopi yang masih mengepul
lengkap sudah hidupku di ujung sore ini.
 
Musim kemarau di hatiku
tidak tertarik menikmati segelas dua gelas es dawet
minuman favoritmu? 
Tapi barangkali cukup dua atau tiga jam saja.
Jika hujan berkepanjangan
aku takut airnya meluap dari hatimu dan membanjiri rumah kita.
Pun jika kemarau terlalu lama
sumber air mengering
dan tiada air yang cukup untuk menyiram cabe dan tomat
yang ditanam di belakang rumah.
 
Atau bagaimana jika dua musim kita satukan saja
Bukankah alam semesta akan menemukan keseimbangan?
 
“Mengapa harus terpaku pada dua musim?” tanyamu.
“lebih banyak musim lebih semarak, bukan?”
 
Benar juga.
Masih ada musim yang lain, musim semi, musim salju, musim mangga, musim rambutan,
musim durian, musim diskon, musim layang-layang dan aneka musim lainnya
hidup kita jadi lebih penuh sensasi dan warna.
 
Tapi untuk sekarang sebaiknya
sisa kopi dalam cangkir aku ubah jadi payung hitam untuk kita gunakan bersama
agar aku tidak kehujanan di dalam hatimu
dan kamu tidak kepanasan di dalam hatiku. 


--- 

Tayang pertama kali di Kompasiana | ilustrasi gambar dari pixabay.com 


Baca Juga Fiksi Keren lainnya:






Komentar