Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Mata yang Paling Indah




Jika saja langit malam dihiasi dua purnama 
dalam kerlip gemintang saling memuja
aku akan tetap memilih sepasang mata 
yang di dalamnya terperangkap dewi jelita
juga mungkin dewa asmara.

Jika saja matahari terbit dari dalam jeram 
hingga pagi dan senja hari penuh pelangi
aku tetap lebih mengagumi matamu
yang dalam tatapannya seperti telaga
menenggelamkan pria-pria pencari cinta
hingga terengah-engah
mencari tepian.

Di dalam kerling matamu
bukan saja ada purnama, telaga, gunung dan bintang-bintang semesta
tapi juga ada siluet masa lalu
cerita hari ini
dan harapan untuk masa depan
harapan menanti janji 
dan janji menanti bibir yang akan mengucapkannya.

Mungkin aku akan belajar 
menatap purnama bermalam-malam
dan menatap pelangi berhari-hari
agar 
saat menatap mata yang paling indah
aku tidak selalu kalah 
pada temu pandang pertama atau kedua.

Dan jika suatu hari 
mata itu yang selalu aku pandang sebelum memejam mata
aku telah terbiasa.



---


Tayang pertama kali di Kompasiana | ilustrasi gambar dari pixabay.com 


Baca Juga Fiksi Keren lainnya:







Komentar