Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Berapa Lama Kita Kuat Menyimpan Rahasia Ini

 


Aku melihatmu menyapu keping-keping kenangan, mengumpulkannya, memungutnya satu per satu dari lantai dan menyusunnya hati-hati di atas meja.

Ada wajah-wajah di situ. Sebagian kukenal samar-samar, sebagian kukenal baik, sebagian lagi asing sama sekali. Perlahan-lahan kauseka keping-keping itu, satu per satu.

Aku memperhatikan sampai keping terakhir dan tidak bisa menahan diri untuk bertanya,

“Apakah memang tidak ada wajahku di situ? Atau aku yang melewatkannya?”

Kamu terkejut sebelum menyahut, “Kamu punya tempat spesial untukku.”

Telunjukmu mengarah ke salah satu dinding. Di sana tergantung pigura yang membingkai kepingan kenangan yang lain. Ada wajahku di situ.

“Kamu bukan saja masa lalu, tapi masa kini dan masa depanku,” kamu berucap lagi sambil tersenyum manis. “Tapi … bukankah kamu tidak seharusnya berada di sini?”

“Oh, maaf,” sahutku. “Aku akan segera pergi.”

Aku pun beranjak keluar dari kamar.

Saat menutup pintu dari luar aku tercenung.

Jangan-jangan kamu memang sengaja membuka pintu hatimu, lalu pura-pura tidak menyadari kehadiranku, lalu pura-pura terkejut.   

Ah, kita lihat saja nanti. Berapa lama kita kuat menyimpan rahasia ini.


Tayang pertama kali di Kompasiana | ilustrasi gambar oleh Arek Socha dari Pixabay   


Baca Juga Fiksi Keren lainnya:





Komentar