Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Wanita Dalam Genangan Air

 


Hujan pergi menyisakan gerimis malu-malu, tapi rembulan masih betah menunggui langit berwarna perak kelabu. Pada sudut kota, genangan air di atas aspal hadirkan bayangan neon box di depan swalayan yang hampa pembeli. 

Di emper swalayan, tersedia beberapa kursi dan meja untuk pelanggan. Kecuali satu kursi yang terisi, kursi-kursi yang lain sama hampanya. Kursi yang beruntung itu diduduki seorang lelaki berpenampilan awut-awutan, Bayu namanya. Di depan Bayu diam pasrah cangkir plastik kopi susu panas yang telah kehilangan panasnya karena hampir lima belas menit diabaikan. 

Bayu mengangkat cangkir dan untuk ketiga kalinya menyesap isinya perlahan-lahan. Alisnya yang lebat membentuk tanda kegalauan, begitu pula kerut-kerut halus di keningnya. Dia seperti menyimpan banyak pertanyaan di dalam kepalanya dan entah pada siapa mencari jawabnya. 

Sepuluh menit kemudian, Bayu telah berjalan menyusuri pinggir jalanan kecil yang penuh genangan air, tak peduli tarian gerimis telah membuat basah rambut ikal dan setengah bagian jaketnya. Seolah mengerti hati Bayu, jalanan itu pun sama hampanya dengan swalayan yang baru ditinggalkan. Bahkan satu sepeda motor pun tidak ada yang berani melintas. 

Diliriknya sesekali genangan air yang memantulkan benda-benda dari seberang jalan. Lampu warna-warni, lampu jalanan, rona rembulan dan… seorang wanita bergaun merah. 

Langkah Bayu terhenti, karena wanita itu sedang menatapnya lekat-lekat. Bayu tidak mengenal wanita itu. Tapi tegurannya kemudian, membuatnya seperti pernah memiliki wanita itu pada suatu waktu di masa lalu.

“Kehilangan sesuatu, Tampan?”

Bayu menghentikan gejolak pikirannya agar bisa mencerna wajah wanita itu lebih lama. Pipi tirus, rambut lurus sebahu, mata sayu, gincu merah merona. Sungguh menggoda.

“Tidak! Sesuatu itu yang kehilangan saya,” sahut Bayu.

Wanita bergaun merah tertawa kecil, “Takdir memang aneh. Saya bisa saja bertemu belasan lelaki lain malam ini, tetapi dia memilihmu, lelaki di seberang jalan yang tak mau kehilangan harga dirinya.”

“Siapa kamu? Apa saya mengenalmu?”

Wanita di seberang jalan menuruni trotoar dan melintasi jalanan tanpa takut sedikit pun high heels-nya terpapar genangan air. Tahu-tahu Bayu dan wanita itu kini tinggal berjarak sejengkal saja. Saking dekatnya, Bayu bisa merasakan napas wanita itu di bawah dagunya. 

“Saya adalah fragmen masa lalu kamu…”

“Saya tahu. Tapi setiap orang mestinya punya nama, bukan?”

“Namaku… Khianat…”

Mata Bayu membelalak dan secara refleks mundur selangkah. 

“Saya tahu sekarang, kamu datang membawa dendam wanita-wanita itu!...”

Bayangan wanita-wanita yang pernah singgah di kehidupan Bayu tiba-tiba berkelebat tidak karuan di dalam kepalanya. Meta, Cindy, Meutiah, Keke. Bayu pun menemukan persamaan kebencian di mata mereka dengan tatapan menggoda dari wanita berbaju merah di hadapannya.

“Tidak. Saya bukan membawa dendam, saya malah membawa pesona mereka kembali. Tapi sayangnya saya dari masa lalu, Bayu. Masa lalu yang tidak akan terulang lagi. Lihatlah, bayangan dari masa depan…”

Wanita itu menunjuk genangan air. Bayu kembali terkejut. 

Genangan air memantulkan rupa wanita lain. Wanita berbaju biru dengan rambut panjang indah yang tengah dipermainkan angin malam. 

“Sukma!” Bayu berseru dan mengangkat pandangannya ke seberang jalan. Tapi… hampa! Tidak ada seorang pun di sana. Bayu kembali memandang genangan air, sama hampanya. 

“… yang tidak akan kamu raih,” wanita berbaju merah kembali bertutur. “Tapi kamu sudah tahu, bukan? Suatu saat cinta-lah yang akan membakar hati bekumu, melelehkan dan mengirisnya dengan sembilu tajam. Kamu tahu, bukan? Saatnya akan tiba. Cinta-lah yang akan meninggalkanmu, begitu kamu membutuhkannya.”

Wanita bergaun merah mengecup bibir Bayu mesra, lalu berbalik dan kembali menyeberangi jalan. Bayu membiarkan semuanya terjadi. Menikmati setiap menit saat-saat perpisahan itu sebelum wanita berbaju merah kembali menyapanya,

“Kehilangan sesuatu, Tampan?” lalu pergi dan menghilang ditelan malam.

Di dalam genangan air, tidak ada bayangan apapun yang ditinggalkan selain langit malam yang kelam membius kesadaran. Bayu tertunduk penuh sesal. Bulir bening basah mengalir dari matanya. 

“Ya, saya telah kehilangan sesuatu,” ucapnya lirih. 

Tiba-tiba dia mengepalkan tangan. 

Aku harus bisa menemukanmu, Sukma, dimana pun kamu berada kini, batinnya.

Dia kembali mengalihkan pandangan ke arah genangan air, tempat terakhir kali Sukma terlihat. Sambil berteriak seperti orang kesetanan, dia pun melompat dan menjatuhkan dirinya ke dalam genangan air tersebut, sesaat sebelum sebuah mobil truk melintas dengan deras. 


--- 


Tayang pertama kali di Kompasiana | ilustrasi gambar oleh Ariadne dari Pixabay   


Baca Juga Fiksi Keren lainnya:






Komentar