Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Jantung Cadangan

 


Suhu kamar kita meninggi seiring amarahmu yang makin membuncah. Setelah lelah meneriakkan sumpah serapah, kamu mulai melempar dan membanting benda-benda sejangkauan tanganmu. Kaca rias, cangkir kopi yang sudah tandas, gantungan baju, ah… untung saat bergumul tadi aku masih sempat menyelamatkan handphone-ku dari atas meja. Jika tidak, pasti sudah jadi sasaran luapan amarahmu juga.

Setelah semua isi kamar kita berserakan tak keruan di lantai, aku pikir kamu akan berhenti. Aku salah. Kamu mengeluarkan gunting dari dalam laci lemari dan mulai melukai pergelangan tangan, leher dan perutmu sendiri. Aku pikir kamu sudah kelewatan. 

Aku ingin berlari untuk mencegahmu melakukan perbuatan gila itu, tapi apa dayaku?

Aku sendiri sedang terbujur kaku di atas ranjang dengan sebilah pisau tertancap di dada. Rasanya sebentar lagi aku pun tidak mampu mencegah jiwaku meninggalkan tubuh fana ini.

Kamu mendekatiku dengan lunglai. Bajumu yang semula berwarna kuning gading kini berwarna merah pekat karena darah.

“Mengapa, Mas!?” serumu dengan sisa-sisa suara. “Selama ini aku sudah berusaha menjadi istri yang baik. Aku tinggalkan keluarga dan masa depanku di sana untuk kamu, Mas…”

Aku tahu aku salah. Benar-benar salah. Tapi kamu harus tahu, kamu masih selalu jadi cinta sejatiku. Hanya saja… aku terjebak dalam masa lalu, Sayang.

Aku ingin berkata banyak, hanya saja suara yang keluar dari mulutku hanya erangan tanpa irama dan arti yang jelas. Sebagai ganti kata-kata penyesalan, mataku mengucurkan tetes demi tetes bening. Suhu kamar pun rasanya lebih sejuk.

Kamu menatap wajahku dengan raut kebingungan. Ah, andai saja aku punya jantung cadangan.

“Aku mencintaimu, Mas, sampai kapan pun. Maafkan aku, tadi… tadi aku benar-benar emosi mendapati perempuan berengsek itu ada di kamar kita.”

Air mataku terus mengucur.

“Mas, maaf, Mas. Jangan mati dulu, aku… aku punya jantung cadangan.”

***

Matahari sejak siang tertutup awan tebal kelabu.

Jantungku masih berdetak. Aku membuka payung hitam, untuk menaungi kepalaku dan Jiv dari guyuran gerimis. Jiv, anak bungsu kami yang berusia 12 tahun masih menggelayut nelangsa di bahuku. Kesedihan yang sama nampak di wajah Hendra, si Sulung, beberapa langkah di sisi kami.

Aku akhirnya selamat berkat jantung itu, Sayang. Tapi kamu berbohong, kamu tidak punya jantung cadangan.

Hujan menderas. Semua pelayat bergerak tergopoh-gopoh meninggalkan areal pekuburan. Aku, Jiv dan Hendra masih menatap nisanmu sembari memanjatkan doa yang tergerus kesedihan. Aku merasa doa-doa kami tidak pernah sampai, terperangkap oleh mendung dan hujan mencampakkannya kembali ke tanah. 


--- 


Tayang pertama kali di Kompasiana | ilustrasi gambar dari Pixabay   


Baca Juga Fiksi Keren lainnya:






Komentar