Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Suhu kamar kita meninggi seiring amarahmu yang makin membuncah. Setelah lelah meneriakkan sumpah serapah, kamu mulai melempar dan membanting benda-benda sejangkauan tanganmu. Kaca rias, cangkir kopi yang sudah tandas, gantungan baju, ah… untung saat bergumul tadi aku masih sempat menyelamatkan handphone-ku dari atas meja. Jika tidak, pasti sudah jadi sasaran luapan amarahmu juga.
Setelah semua isi kamar kita berserakan tak keruan di lantai, aku pikir kamu akan berhenti. Aku salah. Kamu mengeluarkan gunting dari dalam laci lemari dan mulai melukai pergelangan tangan, leher dan perutmu sendiri. Aku pikir kamu sudah kelewatan.
Aku ingin berlari untuk mencegahmu
melakukan perbuatan gila itu, tapi apa dayaku?
Aku sendiri sedang terbujur kaku di atas ranjang dengan
sebilah pisau tertancap di dada. Rasanya sebentar lagi aku pun tidak mampu
mencegah jiwaku meninggalkan tubuh fana ini.
Kamu mendekatiku dengan lunglai. Bajumu yang semula
berwarna kuning gading kini berwarna merah pekat karena darah.
“Mengapa, Mas!?” serumu dengan sisa-sisa suara. “Selama ini
aku sudah berusaha menjadi istri yang baik. Aku tinggalkan keluarga dan masa
depanku di sana untuk kamu, Mas…”
Aku tahu aku salah. Benar-benar salah. Tapi kamu harus
tahu, kamu masih selalu jadi cinta sejatiku. Hanya saja… aku terjebak dalam
masa lalu, Sayang.
Aku ingin berkata banyak, hanya saja suara yang keluar dari
mulutku hanya erangan tanpa irama dan arti yang jelas. Sebagai ganti kata-kata
penyesalan, mataku mengucurkan tetes demi tetes bening. Suhu kamar pun rasanya
lebih sejuk.
Kamu menatap wajahku dengan raut kebingungan. Ah, andai
saja aku punya jantung cadangan.
“Aku mencintaimu, Mas, sampai kapan pun. Maafkan aku, tadi…
tadi aku benar-benar emosi mendapati perempuan berengsek itu ada di kamar kita.”
Air mataku terus mengucur.
“Mas, maaf, Mas. Jangan mati dulu, aku… aku punya jantung
cadangan.”
***
Matahari sejak siang tertutup awan tebal kelabu.
Jantungku masih berdetak. Aku membuka payung hitam, untuk
menaungi kepalaku dan Jiv dari guyuran gerimis. Jiv, anak bungsu kami yang
berusia 12 tahun masih menggelayut nelangsa di bahuku. Kesedihan yang sama
nampak di wajah Hendra, si Sulung, beberapa langkah di sisi kami.
Aku akhirnya selamat berkat jantung itu, Sayang. Tapi kamu
berbohong, kamu tidak punya jantung cadangan.
Hujan menderas. Semua pelayat bergerak tergopoh-gopoh meninggalkan areal pekuburan. Aku, Jiv dan Hendra masih menatap nisanmu sembari memanjatkan doa yang tergerus kesedihan. Aku merasa doa-doa kami tidak pernah sampai, terperangkap oleh mendung dan hujan mencampakkannya kembali ke tanah.
---
Tayang pertama kali di Kompasiana | ilustrasi gambar dari Pixabay
Komentar