Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Membunuh Rindu dan Kenangan




Aku berharap
kenangan bisa disajikan di dalam piring makan
atau diseduh untuk mengisi cangkir kopi
agar setiap kali rindu melanda
aku tinggal menyantap dan meminum kenangan itu
sedikit demi sedikit
sampai tidak tersisa sama sekali.Sayangnya
kenangan itu immortal
bahkan lebih abadi dari rasa rindu itu sendiri.
 
Jadi dibanding menjadi saksi bisu
pada kenangan yang selalu meniupkan nyawa baru
pada rindu yang sudah kubunuh berkali-kali,
aku memilih untuk berdansa dengan keduanya
rindu dan kenangan
di bawah langit mimpi abu-abu.
 
Sampai kapan?
 
Entahlah.
Mungkin sampai kamu sendiri yang datang
membunuh salah satu atau malah keduanya
dan memberikan kata-kata terakhir di hari pemakaman mereka.



Tayang pertama kali di Kompasiana | ilustrasi gambar dari pixabay.com 


Baca Juga Fiksi Keren lainnya:






Komentar