Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Menjelang sore, Taufik dan keluarganya bersama-sama menyusuri jalan kampung. Mereka mencicipi udara sore sembari sedikit berpromosi. Taufik hampir sebulan menjalani terapi kelumpuhan akibat stroke di klinik Tang Fong. Dua hari lalu Taufik dinyatakan sudah bisa meninggalkan kursi rodanya dengan catatan masih harus didampingi, karena tungkai kakinya belum kuat benar. Bagaimanapun juga, dia memang masih harus beradaptasi setelah hampir setahun lamanya hidup di atas kursi roda.
“Ayo, pak, semangat! Lebih cepat lagi!” seru Borlan, anak
pertamanya yang berjalan paling depan.
“Jangan dipaksa dulu, dong. Bapak kamu kan masih belajar,”
sahut Marni sambil tetap berusaha menjaga keseimbangan suaminya.
Di belakang, Septi adik Marni dan Farhan suaminya, mengekor
dengan setia.
“Kalau bapak sudah sehat, berarti minggu depan bisa ikutan
lomba masak orang tua murid dong,” tutur Endah si bungsu yang berjalan menjajari
langkah Taufik.
“Bisa, makanya doakan biar bapak cepat bisa jalan seperti
semula,” sahut Taufik.
“Iya, ya baru ingat. Terus kapan pendaftaran terakhir, nak?”
tanya Marni.
“Mm… kayaknya Sabtu deh, mak.”
“Kok pakai kayaknya? Ketahuan nih, kalau di kelas pasti
kerjaannya tidur melulu!” ledek Borlan.
Endah meleletkan lidah pada kakaknya.
Sesaat kemudian, langkah Taufik terhenti. Pandangannya
tertuju pada satu titik. Di depan toko bangunan di seberang jalan, seorang
wanita berparas manis sedang mengatur tumpukan keramik yang diturunkan tukang dari
atas mobil pick up. Itu Sandra, anak
haji Bedu yang punya toko bangunan.
Sandra mantan pacar Taufik zaman sekolahan dulu, namun
sepertinya masih ada cinta yang tersisa dari masa lalu dalam relung hati Taufik.
“Tambah bening aja...,” gumam Taufik tanpa sadar.
Dia hampir lupa saat itu sedang dipapah istrinya yang baru
saja didera cemburu.
“Eh, emang si Sandra gak jadi pindah Pontianak ya?” tanya
Taufik, entah sadar atau tidak.
Sontak Marni tak bisa menahan amarahnya lagi.
“Kamu lupa masih punya istri, ya?!” serunya sengit.
Taufik yang baru tersadar jadi gelagapan. Pada suatu waktu,
Sandra pernah jadi bahan pertengkaran hebat mereka, dan sejak itu dia berjanji
tidak akan pernah mengungkit-ungkit nama Sandra lagi.
“Mm… ng.. ya, kan cuma nanya doang!”
Marni melepas lingkar tangan Taufik dari bahunya.
“Nanya atau nafsu!” ucap Marni lagi. “Aku mau pulang ke
rumah, nunggu kucing bertelur. Masih ada gunanya!”
Septi dan Farhan mencoba menahannya, tapi Marni tetap
ngotot. Malah sebelum pergi Marni masih sempat berteriak lagi, “Mudah-mudahan kamu
masuk klinik Tang Fong lagi, tak usah balik-balik sekalian!”
Taufik kaget disumpahi seperti itu. Tapi karena sudah
sangat paham tabiat istrinya saat lagi cemburu, dia mencoba memakluminya.
“Bapak, ibu dikejar dong, kayak di film-film Korea itu,”
celetuk Endah.
Taufik menghardik, “Kejar,… kejar! Jalan aja susah! Kamu tuh
terlalu banyak nonton pilem. Mulai sebentar remote
TV bapak yang pegang…,”
Setelah itu Taufik bermaksud meminta bantuan Septi untuk
mengganti Marni menopangnya. Tapi Farhan buru-buru menjajari langkah Taufik.
“Biar saya aja, bang…”
Tapi saat itu ekspresi Taufik berubah. Meringis. Dia
tiba-tiba merasa ngilu seketika di sekitar pinggangnya. Dia menekan pinggang
dengan kedua tangannya berharap rasa sakit itu segera mereda.
“Kenapa, bang?” tanya Farhan.
“Gak tahu nih. Tiba-tiba sakit…”
Ekspresi Borlan lain lagi. Dia terkesima dengan pemandangan
itu.
“Wah, sumpah ibu manjur banget…”
Taufik melotot.
“Mau bapak sumpahin juga kamu?”
Borlan terdiam.
Sandra yang mengamati pemandangan di seberang jalan itu
dari teras tokonya, segera berlari menghampiri mereka.
Melihat Sandra datang dari seberang jalan, Taufik berusaha tampil
seprima mungkin. Dia berusaha berdiri tegak kembali dan melepas tangannya dari
punggung Farhan. Tapi karena benar-benar tak bisa lagi menahan sakitnya, Taufik
pun jatuh terjengkang. Semua jadi panik
“Bapak…!”
“Bang…!”
-------
Tayang pertama kali di Kompasiana | ilustrasi gambar dari pixabay.com
Komentar