Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Jatuh, Cinta

 


Bukan hanya sekali, sudah beberapa kali Bayu bermimpi jatuh dari tempat-tempat yang tinggi. Jatuh dari rooftop sebuah gedung, jatuh dari atas pohon dan dari atas atap rumah. Menurut mamanya yang gemar menafsir mimpi, Bayu mesti mawas diri. Jatuh dari tempat tinggi bisa jadi dia akan kehilangan sesuatu yang dimiliki selama ini, misalnya harta, karir atau semacamnya.

Tapi Bayu santai saja. Nyatanya, selama ini perjalanan karirnya sebagai seorang general manajer di salah satu perusahaan distributor gadget bisa dikatakan cukup kinclong. Bayu mencapai posisi puncak di struktur manajemen perusahaan tersebut hanya dalam waktu 6 tahun sejak awal bergabung di perusahaan sebagai tenaga penjualan. Dia memang typical seorang pekerja keras dan selalu berhasil menunjukkan kinerja terbaik.

Pun belum ada tanda-tanda dari para pemilik perusahaan untuk mengganti posisinya.  Jadi, ya, namanya juga bunga tidur, Bayu tidak mau banyak ambil pusing terhadap hasil tafsir mamanya.

Kehidupan Bayu juga sudah cukup mapan. Punya rumah sendiri, tabungan dan asuransi yang memadai serta kendaraan roda empat. Tinggal pendamping hidup yang belum ada. Jadi walaupun sudah punya rumah sendiri, sesekali setiap weekend dia masih pulang ke rumah orang tua. Apalagi kalau pikirannya lagi mumet dan butuh curhat dengan mama, teman curhat setianya, juga kalau lagi kangen masakan mamanya.

Seperti akhir pekan ini. Hari Minggu jam 8 lewat sedikit dia baru keluar kamar dengan wajah dan pakaian kusut pertanda baru bangun tidur. Dia menemukan mamanya sedang beres-beres di meja makan.

“Masak apa, Ma?” tanyanya berbasa-basi, sambil membuka tudung saji. Mangkuk besar berisi nasi goreng seafood menyambutnya. Wangi nasi goreng yang khas memenuhi udara. Senyum Bayu langsung merekah. Nasi goreng ini salah satu makanan favoritnya. Dia pun buru-buru mengambil piring dan menyendok nasi goreng.

“Katanya mau ada flash sale pagi ini. Kok masih nyantai-nyantai, Bayu?” mama balas bertanya sambil membalik beberapa gelas yang tadinya tertutup.

“Jadinya jam 10, Ma. Masih lama, kok,”

“Oh,”

“Mah, Bayu mimpi jatuh lagi. Dari atas gunung yang tinggiii…” Bayu memulai pembicaraan yang sepertinya bakal panjang. Dia sudah duduk manis lalu makan dengan lahap.

Ibunya pun ikut duduk di samping meja, dekat Bayu. “Sekarang mimpinya bagaimana?”

“Mm…,” Bayu mengunyah dan mendorong cepat-cepat gumpalan nasi melewati kerongkongannya lalu mulai bercerita. “Saya ada di hutan, Ma, banyak pohon-pohon besar. Lagi asyik-asyik jalan, eh, tiba-tiba ada ular, ular besar lagi. Ularnya muncul tiba-tiba lalu langsung mengejar. Nah, saya lari sekecang-kencangnya. Gak tahu ke arah mana, yang penting lari. Ternyata saya lagi ada di puncak gunung gitu, Ma. Karena keasyikan lari jadi tidak memperhatikan lagi. Akhirnya saya jatuh melayang ke bawah.”

Di luar dugaan Bayu, Mama senyum-senyum semringah mendengar cerita itu. “Memangnya Kenapa, Ma? Senyum-senyum gitu.”

“Itu pertanda baik, Bayu. Kamu lagi naksir sama seseorang, atau ada yang lagi naksir kamu. Dikejar ular itu artinya kamu akan segera ketemu jodoh. Duh, akhirnya tidak lama lagi mama punya cucu.”

Mata Bayu membulat. Selama ini dia berusaha keras menghindari topik-topik semacam ini. Usianya yang sudah menginjak usia 32 tahun memang sudah sangat matang untuk memulai sebuah rumah tangga. Tapi selama ini dia masih ingin lebih fokus bekerja dan mengembangkan karir. Belum tertarik berpikir lebih jauh ke arah itu. Pun belum ada satu pun wanita yang berhasil singgah lama-lama di hatinya.

“Siapa sih cewek yang beruntung itu?” goda mama lagi.

“Ga ada, Ma. Kalau ada saya pasti sudah cerita.”

Untunglah saat itu nasi goreng di piring sudah tandas jadi Bayu punya alasan untuk cepat-cepat pergi dari situ. “Udah ya, Ma. Mau mandi dulu.”

Mama hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum. Tidak ada gunanya mau berpanjang-panjang kalau Bayu sudah menghindar seperti itu.

Tapi pertanyaan mamanya mengenai siapa cewek yang beruntung itu rupanya membekas dalam-dalam di benak Bayu. Di kantor, keesokan harinya, dia masih memikirkan pertanyaan itu. Memang ada seorang cewek yang berhasil mengusik hatinya. Namanya Cinta, supervisor accounting di salah satu toko cabang mereka.

Masih hitungan karyawan baru, karena bekerja baru 4 bulan ini. Tapi sejak pertama mengenalnya, Bayu langsung tertarik. Wajahnya begitu ayu, khas gadis-gadis desa tapi tetap terlihat anggun. Dia juga tidak bertingkah norak seperti kebanyakan staf-staf cewek ketika bertemu dengannya.

Mereka cukup sering berkomunikasi karena Bayu gemar mengecek detail laporan pada staf-staf di level bawah, tidak cukup menerima laporan dari setiap manajer toko.

Dari komunikasi-komunikasi itu Bayu mengetahui Cinta ini cukup cerdas dan enak diajak diskusi. Ini yang membuatnya terlihat beda dari cewek-cewek pada umumnya.

Setelah makan siang, sebuah pesan masuk ke gawainya. Bayu terkejut. Itu pesan dari Cinta. Semesta seperti sudah mengaturnya.

Sebuah foto semarak disertai caption berisi undangan ulang tahun ke-9 terpampang di layar gawainya.

Tidak lama kemudian, chat berisi pesan teks, juga dari Cinta menyusul.

Pak Bayu, maaf ya saya undang lewat chat. Anak saya hari Kamis ini ulang tahun. Kami mau buat sedikit perayaan, Pak. Untuk teman-temannya acara sore, malamnya saya undang anak-anak toko. Kalau Pak Bayu ada waktu bisa hadir juga ya, perwakilan head office. Hehe. Acara makan malam jam 19.00. Datang lambat dikit juga tidak apa pak. Acara santai saja. Terima kasih.”

Bayu kembali terkejut. Cinta sudah menikah ternyata. Ya, ampun! Kenapa dia sudah berpikir terlalu jauh? Bayu menepuk jidatnya sendiri.

Oke, Bu Cinta. Saya usahakan datang. Terima kasih undangannya ya.

Demikian balasnya. Tidak lama balasan ucapan terima kasih juga datang dari Cinta.

Setelah itu Bayu berusaha kembali bekerja seperti biasa. Fokus kembali pada target-target, isu yang harus dibahas bersama para manajer toko, masalah sumber daya dan seterusnya beberapa hari ini. Tapi tak urung, jika sedang sendirian atau terbawa lamunan, wajah Cinta kembali muncul di pikirannya. Dia sampai memarahi dirinya sendiri, sadar Bayu! Dia itu milik orang kamu jangan mikir aneh-aneh gitu!

Akumulasi pikiran-pikiran itu membuatnya enggan untuk hadir memenuhi undangan Cinta. Tapi di sisi lain dia sadar harus tetap profesional. Emosi dan pikiran-pikiran pribadi harus dipisahkan dengan urusan pekerjaan.

Oleh karena itu pada hari Kamis sore, Bayu menyelesaikan pekerjaannya lebih awal dan mencari kado apa nanti yang akan diberikan ke putri Cinta.

Sesampai di pusat perbelanjaan, dia pun memutuskan untuk membelikan jaket hoodie dan meminta petugas toko membantu mencari ukuran yang kira-kira sesuai untuk anak usia 9 tahun dengan memperlihatkan foto putri Cinta di layar gawainya.

Setelah membungkus kado tersebut, Bayu langsung beranjak ke lokasi rumah Cinta. Lokasi rumah dikirim oleh Satyo, salah satu kawannya, manajer toko cabang di tempat Cinta bertugas. Satyo mengarahkan Bayu ke lokasi yang memungkinkan untuk parkir mobil, karena jalan di rumah Cinta agak kecil. Lalu dari situ tinggal berjalan kaki beberapa menit.

Waktu sudah menunjukkan jam setengah 8 lewat sedikit, saat Bayu sampai. Jalanan memang tadi cukup macet. Rumah Cinta yang kemudian dketahuinya ternyata rumah kontrakan, terletak di salah satu sudut kota. Halaman depannya memang hanya pas untuk parkir kendaraan roda dua saja, tapi rupanya halaman belakang cukup luas dan sekeliling rumah dibatasi dengan tembok pembatas. Halaman belakang sudah ramai dengan teman-teman kantor Cinta.

Aroma wangi ikan bakar seketika merebak begitu Bayu masuk ke dalam rumah dan diarahkan oleh Cinta ke halaman belakang.

Bayu menghitung ada 7 orang anak-anak toko termasuk Satyo di situ, di halaman belakang yang disulap oleh Cinta jadi tempat pesta barbekyu kecil-kecilan. Ada pemanggang di sudut halaman dan ada barisan ikan, udang cumi-cumi yang masih mentah dan sudah dibumbui di salah satu wadah. Lampu LED berdaya besar yang dipasang di teras belakang cukup ampuh mengusir gelap di tempat itu.

Di atas teras diletakkan meja yang dikelilingi kursi-kursi plastik. Di atas meja ada rupa-rupa makanan, ikan dan cumi-cumi yang sudah dibakar, sambal dabu-dabu, nasi dan sayuran. Ada yang sedang asyik bersantap, ada juga yang asyik membolak-balik ikan di panggangan.

Semua terlihat asyik mengobrol dan menikmati suasana itu. Perhatian mereka sejenak teralihkan saat Bayu muncul.

“Selamat malam, Pak. Ayuk gabung,” sapa Satyo dan yang lainnya dengan hangat.

Bayu mengangguk sambil tersenyum tidak kalah hangat.

“Loh, yang ulang tahun mana, Bu Cinta?” tanya Bayu.

“Gak usah panggil bu bu segala, Pak. Santai saja. Bentar, saya panggil, ya. Lagi di kamar itu asyik buka-buka kado. Chiraa!”

Tanpa menunggu sahutan Bayu lagi, Cinta yang sore itu terlihat casual dan manis dengan kaos biru gelap dan bawahan dengan warna senada langsung masuk ke dalam.

Satyo berdiri menyambut Bayu dan mempersilahkannya duduk di salah satu kursi yang masih kosong.

“Pak Bayu, langsung saja pak. Kita di sini acara bebas kok. Mau bakar sendiri atau menyantap yang sudah ada di meja, gaspol, Pak…” ucap Satyo.

“Huss, masak datang-datang langsung tancap gas,” sergah Bayu. Yang lain tertawa. Padahal memang harus diakui ikan kerapu bakar yang tepat terhidang di depannya saat itu begitu menggoda selera.

Tepat saat itu putri Cinta yang bernama Chira muncul dari dalam. Bayu pun menyerahkan kado dan mengucapkan selamat ulang tahun.

“Makasih ya, Om,” sahut Chira sambil mencium punggung tangan Bayu. Setelah menerima hadiah dari Bayu, dia kembali masuk ke dalam. Saking semangatnya, dia nyaris menabrak ibunya yang berdiri di dekat pintu.

Cinta muncul sambil membawa segelas sirup jeruk dan menghidangkannya di depan Bayu.

“Pak Bayu, silakan pak. Dipilih sendiri ikannya. Atau kalau mau nunggu cumi, itu si Cipta dan Dodo  bagian pemanggangan lagi beraksi,” ajak Cinta lagi dengan ramah.

“Nanti-nanti dulu-lah, Bu. Baru sampai…”

“Nah, bu lagi… Hehe.”

Bayu tersadar. “Eh, maaf. Sudah kebiasaan di tempat kerja sih.”

“Gapapa, Pak. Saya tinggal sebentar dulu ya. Anak-anak ini minta ada kopi atau teh juga, jadi airnya dimasak dulu.”

“Siap, Bu, eh Cin, eh, Mbak …Duh, tuh kan, salah jadinya.”

Cinta dan yang lainnya tertawa geli.

Setelah Cinta masuk kembali ke dalam rumah, Bayu pun mengobrol santai dengan Satyo dan kawan-kawan kantornya. Sesekali dia menengok ke arah pemanggang, menunggu cumi-cumi dan ikan yang dibakar rica. 

Tidak lama kemudian. Chira muncul lagi sambil memamerkan hadiah yang sudah dipakainya. Jaket hoodie berwarna abu-abu gelap. Nampak sedikit longgar, tapi masih relatif pas untuk ukuran jaket hoodie di tubuh anak 9 tahun.

“Jaketnya bagus banget, Om, Makasih ya,” ucapnya.

Chira ini anak yang manis. Jika dipandang lama-lama, matanya begitu mirip dengan mata Cinta.

“Oke, Chira. Kamu belajar yang rajin ya.”

“Siap, om,” angguk Chira, lalu setelah puas memamerkan jaket hadiahnya, dia kembali berlari ke dalam rumah.

Kini Bayu benar-benar tidak bisa menahan diri untuk bertanya sesuatu. Dia pun bertanya ke Satyo dengan suara dikecilkan.

“Sst… suami Cinta mana, Sat?”

Satyo mengernyitkan kening. “Suami?” dia bertanya balik sambil ikut mengecilkan suaranya.

Bayu mengangguk.

“Cinta kan belum menikah, Bos.”

Haah?!

Bayu terkejut. “Lah, si Chira?” tanyanya lagi.

Satyo langsung tahu ada kesalahpahaman yang terjadi di sini. Dia pun menjelaskan kalau Chira itu anak kakak Cinta yang sudah lama jadi TKI ke Malaysia. Bapaknya meninggal sejak Chira kecil karena penyakit paru-paru. Sejak masih bocah kecil itu-lah Chira sudah dititip ke Cinta. Selama ini Cinta sudah menganggap Chira seperti putrinya sendiri. Chira pun memanggilnya mama dan menganggap Cinta sebagai pengganti ibunya.

Jadi sebenarnya Chira itu keponakan Cinta. Tanpa sadar mulut Bayu membulat. Pikirannya saat itu bisa diibaratkan dengan suatu pagi yang berkabut. Kabut tebal yang menyelimuti pikirannya langsung tersingkir pergi dan cahaya matahari pagi bersinar dengan cerah, setelah mendengar penjelasan Satyo. Matanya pun berbinar-binar.

Ini membuat Satyo dan kawan-kawannya jadi curiga.

“Ada apa sih, Pak?”

“Ah, enggak. Nanya doang…”

“Hmm… jangan-jangan… ” Satyo menggantung kalimatnya dengan mata menggoda.

“…bapak naksir ya?” sambar Dodo. Jarak mereka terpaut beberapa meter, tapi rupanya Dodo yang asyik di pemanggangan masih bisa mendengar percakapan mereka.

“Huss! Jangan pikir yang aneh-aneh, kalian,” sergah Bayu. Tapi senyum kikuknya seperti mengaminkan curigation kawan-kawannya. Mereka pun mulai ber-cie-cie ria.

Keributan itu seketika mereda saat Cinta keluar dari dalam rumah sambil membawa nampan berisi gelas-gelas kopi dan stoples gula pasir. Aroma kopi hitam menguar tajam.

“Pak Bayu, mau minum kopi atau teh, Pak?” tanyanya sembari menata minuman di atas meja.

“Mm… saya nanti saja ya. Itu sirupnya juga belum habis,” sahut Bayu. Suara baritonnya tidak lagi terdengar tegas dan lepas seperti tadi.

Cinta jadi ngeh dengan perubahan suasana yang terjadi di tempat itu. Dia mengamati Satyo dan kawan-kawannya yang lain dengan tatapan heran.

“Kalian ini kenapa? Kok senyum-senyum gak jelas gitu?” tanyanya. Hening sesaat sebelum Satyo mencoba menjawabnya.

“Gak kok, Cin. Tadi Pak Bayu bertanya … ng…” Satyo terdiam saat Bayu berdiri sambil mengambil salah satu jepitan makanan di atas meja.

“Kayaknya cumi-cuminya sudah matang tuh, Do,” ucap Bayu sambil berjalan ke arah pemanggangan. Dia sengaja memotong ucapan sekaligus melarikan diri dari depan Cinta. Dia tidak ingin wajah bersemu malu-malu kucingnya tertangkap basah.

“Dikit lagi kok, Pak,” sahut Dodo.

Tapi Bayu sudah terlanjur berdiri. Sayangnya, saat melangkah dia tidak terlalu memperhatikan arah kakinya. Kaki kirinya pun terantuk pada kaki kursi milik Satyo yang sedikit terjulur ke belakang. Bayu kehilangan keseimbangan dan bruukk! Jatuh terjerembab dengan sukses. Jepitan makanan terlempar tidak jauh di depannya.

Pekik tertahan Cinta terdengar saat Bayu terjatuh. Satyo dan yang lainnya pun buru-buru membantunya berdiri.

Bayu pun menyapu debu-debu yang menempel di kaos dan celana jeansnya dengan telapak tangannya sambil menyumpah-nyumpah dalam hati. Semua orang menahan napas sesaat.

“Pak, gak apa-apa, Pak?” tanya Cinta yang tahu-tahu sudah berada di depan Bayu sambil menyodorkan tissue. 

“Gak apa-apa kok, Cin?” ucapan Bayu tertahan karena tahu-tahu Cinta menggunakan tissue itu untuk mengelap debu yang menempel di pelipisnya. Usapan jemari Cinta yang lembut dan keibuan seketika meluruhkan rasa malu yang tadi membuncah dalam hatinya.

Kawan-kawannya pun spontan langsung ber-cie-cie ria lagi. Cinta pun refleks melangkah mundur lalu tertunduk tersipu dan buru-buru masuk ke dalam rumah.

Bayu pun akhirnya paham arti mimpi jatuh yang baru-baru dimimpikannya. Jatuh dalam arti sebenarnya dan … mungkin kali ini dia harus mengakui kebenaran tafsir mimpi mamanya.

-----

Tayang pertama kali di Kompasiana | ilustrasi gambar dari Pixabay   


Baca Juga Fiksi Keren lainnya:

Komentar