Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Gelap dan Terang

 


Pada sebuah ujung senja yang damai, bintang berpapasan dengan matahari yang hendak pamit untuk menabur cahayanya di belahan bumi yang lain. Bintang yang masih muda belia itu pun bertanya,

“Tuan, jika suatu saat anda menjadi tua dan lelah, siapa lagi yang akan menyinari bumi?”

Matahari tersenyum dan berhenti sejenak. Dia berpikir, mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan itu.

“Bintang muda yang budiman. Sebelum menjawab pertanyaan itu, aku akan bertanya kepadamu terlebih dahulu. Mengapa kamu dan kawan-kawanmu masih betah menghiasi malam? Dan sampai kapan?”

Bintang sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Tapi dia langsung menjawab dengan yakin.

“Sudah kodrat kami untuk menghiasi langit malam, bukan? Tapi di samping itu, saya sendiri senang dengan tugas ini. Manusia adalah makhluk yang sangat rapuh. Mereka membutuhkan bintang-bintang, rembulan, anda, Tuan Matahari, untuk memberi mereka kekuatan di saat gelap. Tetapi sampai kapan, entahlah. Di alam semesta ini, tidak ada yang benar-benar abadi.”

Matahari mengangguk-angguk.

“Benar katamu. Tidak ada yang abadi, termasuk juga diriku, suatu saat bisa pudar dan menghilang. Jadi sebenarnya yang paling penting adalah manusia-manusia dan kemanusiaan di bawah sana. Selagi mereka memiliki terang yang kuat dalam hatinya, mereka akan selalu punya cara untuk menghadirkan matahari-matahari yang lain di atas dunia mereka.Tapi sebaliknya, jika hati mereka gelap gulita, 10, 100 atau 1.000 matahari pun tidak akan cukup untuk menerangi dunia mereka.”

“Jadi apakah manusia harus dipisahkan dari gelap?” tanya bintang lagi.

Matahari terdiam sejenak.

“Gelap dibutuhkan untuk menguji terang. Gelap kadang dibutuhkan agar manusia semakin menghargai terang. Tapi celakalah manusia yang membiarkan gelap mengambil alih sumber terang dalam dirinya.”

Matahari memandang langit yang semakin temaram. Bulan setengah purnama datang malu-malu di antara awan berwarna tembaga.

“Sepertinya aku sudah harus pergi sekarang. Selamat bertugas, Bintang muda. Senang bercakap-cakap denganmu. Oh ya, sebagai informasi, sebenarnya aku sudah sangat tua. Hanya saja, aku belum lelah,” ucapnya lalu tertawa kecil.

Bintang ikut tertawa, lalu membalas salam perpisahan matahari dengan takzim. Setelah matahari benar-benar hilang di ufuk barat, dia berjanji suatu saat akan menjadi seperti matahari yang kuat dan penuh kebijaksanaan.

---



Tayang pertama kali di Kompasiana | ilustrasi gambar oleh 2758992 dari pixabay.com 


Baca Juga Fiksi Keren lainnya:






Komentar