Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Cangkir Bekas Matahari


 


Kita sudah seharian berjibaku dengan kehidupan

entah kita menang sebagai jawara

atau kalah babak belur dan berdarah-darah.

 

Matahari yang tersaji dalam cangkir pun sudah kita minum sampai habis

rasanya kadang getir seperti empedu

kadang juga manis seperti madu

selagi lidah masih bisa mengindra.

 

Lalu sesampai di ujung malam

tiba saatnya menyeka darah dari luka

memerasnya ke dalam cangkir bekas matahari

untuk meminum sarinya yang memulihkan dan meneduhkan.

 

Jika malam itu kita beruntung

semesta akan mengisi kembali cangkir dengan purnama

dan kekasih melabuhkan kecupan seperti malam pertama.

 

Tapi malam yang damai hanya sesaat

karena cangkir seperti itu tidak akan pernah kosong

selagi kehidupan masih menunggu dengan setia di ambang jendela. 



---


Tayang pertama kali di Kompasiana | ilustrasi gambar oleh pexels dari pixabay.com 


Baca Juga Fiksi Keren lainnya:







Komentar