Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Sudah beberapa tahun ini setiap musim hujan tiba, rumah kami tidak terjangkau banjir. Tapi sepertinya tahun ini hujan turun lebih deras dan lebih lama, sehingga rumah kami kebanjiran juga.
Air yang masuk ke dalam rumah mencapai mata kakiku. Memang
tidak separah rumah-rumah di tempat lain seperti yang banyak diberitakan, ketinggian
air bisa sampai betis, perut orang dewasa, bahkan ada keluarga yang harus
tinggal di lantai dua rumah mereka.
Tapi sekalipun hanya sebatas mata kaki, banjir cukup bikin
repot abah dan emak. Mereka harus memindahkan barang-barang elektronik ke
tempat yang lebih tinggi, ke atas meja-meja dan lemari.
Kemarin dulu air sempat surut tapi kemudian naik kembali.
Sudah dua hari ini listrik padam, jadi pada malam hari kami
menggunakan lilin sebagai pengganti lampu listrik.
Abah dan emak bergantian tidur kalau malam, takut saat
banjir meninggi tiba-tiba semua masih enak tidur. Aku kadang juga tidak bisa
tidur karena memikirkan nasib sekolah kami yang berada di daerah yang lebih
rendah, jadi setiap musim banjir seperti ini, pasti tenggelam. Akibatnya
anak-anak sekolah diliburkan dan aku tidak bisa bertemu teman-teman sekolahku
berhari-hari lamanya.
Pada hari ketiga, menjelang maghrib, ada ikan lele besar
yang nyasar ke dalam ruang tamu, mengikuti genangan air. Emak sempat berteriak
takut karena mengira hewan itu ular. Abah menenangkan lalu berusaha menangkap
ikan lele tersebut. Sepertinya ikan lele “kesasar” sudah kelelahan sehingga
tidak banyak melawan lagi, jadi mudah saja ditangkap.
Emak pun memasak ikan lele itu. Dimasak kari, salah satu
makanan favoritku. Karena ukurannya besar, dagingnya cukup banyak. Kami pun
membaginya dengan tetangga sebelah rumah.
Malam harinya aku bermimpi dikejar-kejar seorang kakek yang
berpenampilan seperti empu. Sejauh dan secepat apapun aku berlari, kakek itu
selalu bisa menyusul tepat di belakangku. Aku sampai kehabisan tenaga dan terduduk
jongkok sambil ketakutan setengah mati.
Ternyata kakek itu tidak berbuat jahat kepadaku. Dia malah
memberiku makanan, singkong rebus yang aromanya bikin air liur menetes.
“Jangan takut, Nak. Ayo dimakan, kamu pasti lapar sekali.”
Aku memang kelaparan, tapi aku masih ragu mengambil
pemberiannya.
“Kakek hanya mau bilang,” lanjut kakek itu lagi,
“Sebenarnya aku datang ke rumahmu itu untuk menjaga supaya banjir besar nanti
tidak sampai ke rumah kalian. Tapi abah sama emak kamu itu loh, keterlaluan.
Masak aku dimasukkan ke kuali.”
Itu kata-kata terakhir si kakek dalam mimpi yang masih bisa
kuingat dengan baik.
Keesokan paginya, air masih tergenang semata kaki. Aku pun menceritakan
mimpi semalam pada abah dan emak. Mereka nampak kaget, tapi mungkin karena
tidak mau membuatku berpikir macam-macam, abah langsung menimpali, “Ah, itu
hanya bunga mimpi kamu saja, Nak. Kamu terlalu banyak nonton film silat. Nah,
mumpung masih libur, ini bawa HP abah ke rumah Pak RW minta tolong di-charge, ayo.”
Rumah Pak RW dua rumah jaraknya dari rumah kami, juga
satu-satunya rumah yang menggunakan genset. Selama pemadaman listrik ini, memang
banyak tetangga yang menumpang charger
HP di rumah pak RW.
Hari ini sejak jam sebelas siang hujan terus turun dengan
deras. Akibatnya semakin sore banjir semakin tinggi. Akhirnya menjelang maghrib
tinggi air sudah sampai ke perut abah. Aku malah sejak sore tadi sudah disuruh
duduk di atas meja makan yang juga mulai tenggelam.
Pak RW berkeliling ke rumah-rumah untuk meminta warga
mengungsi dulu. Perahu-perahu karet pun bermunculan.
Wajah abah dan emak terlihat lelah saat menuntunku di atas
perahu karet dan berjalan pelan-pelan melewati banjir. Warga yang lain juga
berbondong-bondong menuju ke tempat pengungsian.
Hujan gerimis masih turun dari langit. Samar-samar aku
mencium aroma singkong rebus yang sangat menggoda entah darimana asal aromanya.
Siapa
juga yang masih sempat-sempat memasak singkong di saat-saat seperti ini?
Ah, aku jadi ingat kakek dalam mimpi semalam.
---
Tayang pertama kali di Kompasiana | ilustrasi gambar oleh Tom dari pixabay.com
Komentar