Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Memimpikan Kakek yang Sudah Dimasak di Dalam Kuali

 


Sudah beberapa tahun ini setiap musim hujan tiba, rumah kami tidak terjangkau banjir. Tapi sepertinya tahun ini hujan turun lebih deras dan lebih lama, sehingga rumah kami kebanjiran juga.

Air yang masuk ke dalam rumah mencapai mata kakiku. Memang tidak separah rumah-rumah di tempat lain seperti yang banyak diberitakan, ketinggian air bisa sampai betis, perut orang dewasa, bahkan ada keluarga yang harus tinggal di lantai dua rumah mereka.

Tapi sekalipun hanya sebatas mata kaki, banjir cukup bikin repot abah dan emak. Mereka harus memindahkan barang-barang elektronik ke tempat yang lebih tinggi, ke atas meja-meja dan lemari.

Kemarin dulu air sempat surut tapi kemudian naik kembali.

Sudah dua hari ini listrik padam, jadi pada malam hari kami menggunakan lilin sebagai pengganti lampu listrik.

Abah dan emak bergantian tidur kalau malam, takut saat banjir meninggi tiba-tiba semua masih enak tidur. Aku kadang juga tidak bisa tidur karena memikirkan nasib sekolah kami yang berada di daerah yang lebih rendah, jadi setiap musim banjir seperti ini, pasti tenggelam. Akibatnya anak-anak sekolah diliburkan dan aku tidak bisa bertemu teman-teman sekolahku berhari-hari lamanya.

Pada hari ketiga, menjelang maghrib, ada ikan lele besar yang nyasar ke dalam ruang tamu, mengikuti genangan air. Emak sempat berteriak takut karena mengira hewan itu ular. Abah menenangkan lalu berusaha menangkap ikan lele tersebut. Sepertinya ikan lele “kesasar” sudah kelelahan sehingga tidak banyak melawan lagi, jadi mudah saja ditangkap.

Emak pun memasak ikan lele itu. Dimasak kari, salah satu makanan favoritku. Karena ukurannya besar, dagingnya cukup banyak. Kami pun membaginya dengan tetangga sebelah rumah.

Malam harinya aku bermimpi dikejar-kejar seorang kakek yang berpenampilan seperti empu. Sejauh dan secepat apapun aku berlari, kakek itu selalu bisa menyusul tepat di belakangku. Aku sampai kehabisan tenaga dan terduduk jongkok sambil ketakutan setengah mati.

Ternyata kakek itu tidak berbuat jahat kepadaku. Dia malah memberiku makanan, singkong rebus yang aromanya bikin air liur menetes.

“Jangan takut, Nak. Ayo dimakan, kamu pasti lapar sekali.”

Aku memang kelaparan, tapi aku masih ragu mengambil pemberiannya.

“Kakek hanya mau bilang,” lanjut kakek itu lagi, “Sebenarnya aku datang ke rumahmu itu untuk menjaga supaya banjir besar nanti tidak sampai ke rumah kalian. Tapi abah sama emak kamu itu loh, keterlaluan. Masak aku dimasukkan ke kuali.”

Itu kata-kata terakhir si kakek dalam mimpi yang masih bisa kuingat dengan baik.

Keesokan paginya, air masih tergenang semata kaki. Aku pun menceritakan mimpi semalam pada abah dan emak. Mereka nampak kaget, tapi mungkin karena tidak mau membuatku berpikir macam-macam, abah langsung menimpali, “Ah, itu hanya bunga mimpi kamu saja, Nak. Kamu terlalu banyak nonton film silat. Nah, mumpung masih libur, ini bawa HP abah ke rumah Pak RW minta tolong di-charge, ayo.”

Rumah Pak RW dua rumah jaraknya dari rumah kami, juga satu-satunya rumah yang menggunakan genset. Selama pemadaman listrik ini, memang banyak tetangga yang menumpang charger HP di rumah pak RW.

Hari ini sejak jam sebelas siang hujan terus turun dengan deras. Akibatnya semakin sore banjir semakin tinggi. Akhirnya menjelang maghrib tinggi air sudah sampai ke perut abah. Aku malah sejak sore tadi sudah disuruh duduk di atas meja makan yang juga mulai tenggelam.

Pak RW berkeliling ke rumah-rumah untuk meminta warga mengungsi dulu. Perahu-perahu karet pun bermunculan.

Wajah abah dan emak terlihat lelah saat menuntunku di atas perahu karet dan berjalan pelan-pelan melewati banjir. Warga yang lain juga berbondong-bondong menuju ke tempat pengungsian.

Hujan gerimis masih turun dari langit. Samar-samar aku mencium aroma singkong rebus yang sangat menggoda entah darimana asal aromanya.

Siapa juga yang masih sempat-sempat memasak singkong di saat-saat seperti ini?  

Ah, aku jadi ingat kakek dalam mimpi semalam. 


--- 


Tayang pertama kali di Kompasiana | ilustrasi gambar oleh Tom dari pixabay.com 


Baca Juga Fiksi Keren lainnya:








Komentar