Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Tuk!.... tuk!... tuk!
Aku mengetuk pintu yang tertutup. Tapi
setelah ketukan bermenit-menit tidak ada jawaban dari dalam. Bukan baru sekali ini
aku mengetuk, tapi sudah berkali-kali, nyaris setiap hari. Jawaban yang aku
terima dari pemilik pintu di dalam sana selalu sama. Jika bukan kata “pergi!”
atau “berhenti!” dengan ketus, hanya ada keheningan, diam yang berbaur dengan
sepi panjang.
Hari ini aku kembali mengetuk. Samar-samar
aku mendengar suara isak, tangis yang tertahan dari dalam. Aku pun mengetuk
lebih keras.
“Pergi! Kalian semua sama saja!”
serunya.
Aku mengernyitkan kening, lalu merapatkan
wajahku di permukaan pintu dan menyahut dengan suara keras.
“Tidak, Bella! Aku tidak sama!”
“Aku sudah pernah mendengar
kata-kata itu, berkali-kali! Jadi lebih baik kamu pulang, Don!” serunya lagi.
Aku terdiam sejenak.
“Tidak bisa, Bella. Aku tidak punya
pintu lagi untuk pulang. Pintu rumahku sudah aku ganti dengan tembok yang keras,
agar tidak ada lagi yang bisa mengetuk atau masuk ke dalam.”
Hening. Aku tidak mendengar suara
seruan atau isak tangisnya lagi.
***
Pelayan coffee shop yang
datang membawa pesanan kami membuat percakapan terjeda sejenak.
Senja ini terasa begitu senyap.
Bahkan suara deru dan bising lalu lintas yang mestinya memuncak di jam-jam
seperti ini nyaris tidak terdengar.
Bella menyesap kopi mocca
yang baru datang lalu melanjutkan ceritanya.
“Untung feeling-ku tidak
salah, Don. Belum apa-apa, dia sudah berani tidak jujur dan ternyata mempermainkan
aku di belakang sana.”
Masih kulihat sisa-sisa kesedihan
di mata Bella. Dia baru saja menuturkan perjalanan relasinya dengan Bimo, salah
satu klien perusahaannya yang belakangan ini menjalin hubungan yang
cukup serius dengannya.
Aku tahu Bella selama ini sukses menutup
hati dan memendam perasaannya pada lelaki, lelaki manapun itu, karena telah
berkali-kali dibuat patah hati dan dikhianati. Terakhir, dia menaruh harapan
besar pada Bimo karena merasa Bimo berbeda. Setahuku, Bimo pun sudah pernah
menyatakan cinta. Tapi entah mengapa Bella belum langsung memberikan jawaban.
Mungkin pengaruh kisah-kisah getir di masa lalu. Tapi pada akhirnya insting
Bella membuktikan kebenaran.
Beberapa waktu yang lalu tanpa
sengaja Bella menemukan bukti-bukti di gawai Bimo tentang petualangan cinta
Bimo bersama gadis lain selama ini. Dan itu terjadi tanpa sepengetahuan Bella.
Memang, belum ada komitmen hubungan
yang lebih serius di antara mereka, Bella dan Bimo. Status persahabatan mereka
belum naik tingkat jadi sepasang kekasih. Tapi secara perasaan, Bella sudah
mulai membuka hati dan percaya Bimo sosok yang tepat untuk mengisi kekosongan hatinya.
Jadi tinggal menunggu kata “ya” saja dari Bella. Tapi di saat yang sama,
ternyata Bimo juga sedang menjalin asmara dengan gadis lain. Ini yang kemudian membuatnya
begitu sedih.
“Ah, aku sudah cerita terlalu
banyak. Bagaimana dengan kamu, Doni? Tadi kamu bilang pernah berada pada satu
titik di mana kamu tidak percaya lagi pada gadis-gadis di luar sana. Cerita
dong,”
Aku tersenyum. Lalu menyesap isi
cangkir cappucino, menyisakan setengah isi cangkir lalu meletakkannya
kembali ke atas meja.
“Yakin mau dengar ceritaku?”
godaku, mencoba mengalihkan kesedihannya.
Oh ya, aku dan Bella sudah berteman
karib kurang lebih setahun ini. Perusahaanku adalah supplier pada
perusahaan tempat Bella bekerja, salah satu distributor furnitur terkenal. Dan
karena relasi pekerjaan ini, kami jadi sering bertemu dan lama kelamaan jadi
akrab. Kebetulan kami sama-sama penikmat kopi, klop jadinya.
“Iya, Don. Kita kan sudah lama
berteman. Tapi ternyata aku belum terlalu mengenal kamu secara pribadi. Aku tahunya
kamu itu cowok workaholic, jadi masalah cinta-cintaan itu urusan
belakangan. Ternyata kamu memang punya pengalaman pahit juga ya dengan cewek,”
cecarnya.
“Ya, begitulah, Bel. Baiklah, aku
cerita. Tapi wah, bisa panjang ini. Kamu mau versi panjang atau versi pendeknya
nih?”
“Mm… versi pendeknya dulu, lalu
versi panjangnya. Aku punya banyak waktu kok. Kalau perlu kita ngobrol sampai
diusir pegawai coffee shop-nya,” candanya.
Kami tertawa sejenak.
“Versi pendeknya, aku juga sudah
berkali-kali dikhianati cewek, Bel. Mirip kisah-kisah kamu itu. Setelah putus
yang terakhir, aku langsung mengecap semua cewek itu sama. Materialis! Dan aku
pun menutup pintu hati. Bukan ditutup lagi, tapi dicor sekalian.”
Bella memandangku dengan simpati.
Pandangannya jadi sejuk dan meneduhkan. Padahal tadi dia lebih mirip wanita
yang penuh penderitaan dan kepedihan.
***
Tuk!.... tuk!... tuk!
Hari ini aku kembali mengetuk pintu
yang tertutup. Hening sejenak sebelum terdengar suara anak kunci diputar dan
Krieeet!....
Perlahan pintu tersingkap. Sepasang
mata bening, bibir mungil dan rambut lurus sebahu, muncul dari balik pintu.
“Doni? Kamu masih di situ?”
tanyanya.
Jawaban yang aku dapatkan kali ini
benar-benar berbeda.
***
Bintang-bintang semakin semarak.
Bulan setengah purnama juga semakin tinggi bertahta di langit malam.
Pemandangan ini nampak jelas dari lantai dua coffee shop. Tamu-tamu
datang silih berganti, tapi kami masih betah di sini karena begitu larut dalam
percakapan panjang. Kami bahkan sudah dua kali menambah pesanan dan mengisi
perut dengan beberapa potong roti bakar khas coffee shop ini.
“Wah, masa lalu kamu ternyata tidak
kalah getir ya, Don,” ucap Bella penuh simpati.
Aku mengangguk membenarkan.
“Mau pesan kopi lagi?” tanyaku
sambil memandang remah-remah roti dan cangkir-cangkir kami yang kosong. “Tenang.
Kali ini aku semua yang traktir.”
Seperti dikomando, kami secara
bersamaan melirik arloji masing-masing, lalu tertawa berbarengan.
“Next time lagi, mungkin.
Kita sudah hampir empat jam di sini. Nanti beneran diusir sama pegawai coffee
shop. Hehe….” sahut Bella.
“Iya ya. Tapi kok kayak baru
sebentar ya kita di sini. Mungkin karena ini empat jam percakapan yang paling berkesan
tentang kehidupan ya, Bel.”
“Setuju!”
“Eh,” Bella seperti teringat
sesuatu. “Aku masih penasaran. Tadi kan kamu bilang pernah berada pada satu
titik di mana kamu tidak percaya lagi pada cewek manapun. Jadi, sekarang
prinsip itu sudah berubah atau bagaimana, Don?”
Aku menatap matanya lebih dalam.
“Masa perlu aku jelasin lagi, Bel.
Iyalah, sejak aku kenal kamu.”
Aku melihat sekilas wajahnya
merona.
“Sejak kita semakin akrab, aku tahu
kamu berbeda dari cewek-cewek kebanyakan. Tapi karena tahu masa lalu kamu, pun
masa lalu aku, aku tidak mau berharap terlalu banyak. Aku sudah lama punya rasa
sama kamu, Bel.”
Bella tiba-tiba meletakkan
tangannya di atas tanganku di atas meja, entah sadar atau spontan. Aku pun
menggenggam tangannya.
“Aku,… aku… aku tidak tahu mau
ngomong apa, Don? Ini benar-benar,-“
“Sudah. Tidak usah dijawab juga
tidak apa. Kita tetap berteman seperti ini saja, aku sudah senang banget, Bel.”
“Doni, aku takut.”
“Takut?”
“Tentang perasaanmu tadi. Takut
persahabatan kita berubah jika aku mengatakan sesuatu untuk menjawabnya.”
Wajahnya menghangat. Ada rona
bahagia tapi sekaligus juga kebingungan di sana. Sepertinya aku juga mengalami
hal yang sama saat ini.
“Makanya tidak usah dijawab dulu.
Aku juga mau kita tetap berteman seperti ini, bercerita bebas tentang
kehidupan, tentang hari ini dan masa depan, tanpa tendensi apapun.”
Dia mengangguk setuju. Lalu seperti
baru tersadar, dia buru-buru menarik tangannya sambil tersipu malu.
“Kamu ya, cari kesempatan
megang-megang,” ucapnya sengit
“Loh, tadi kamu kan yang megang
duluan,” sahutku tidak kalah sengit. Lalu kami larut kembali dalam tawa.
“Balik, yuk.”
“Yuk.”
***
Dari balik pintu yang tersingkap,
Bella memandangku cemas.
“Iya, Bel. Kan sudah aku bilang aku
tidak bisa pulang. Rumahku sudah tidak punya pintu lagi,” sahutku.
“Duh, kasihan sekali kamu, Don. Di
luar sini kan dingin,” jawabnya.
Yah, kasihannya baru
sekarang, batinku kesal. Tapi kesalnya
sedikit saja. Aku masih tersenyum senang karena kali ini pintu Bella
benar-benar terbuka. Walau terbukanya masih kecil, ini sebuah progress
yang besar.
“Tapi tunggu, tunggu, sebentar,”
ucapnya lagi. “Kalau rumah kamu sudah tidak punya pintu lagi, bagaimana caranya
kamu masuk atau keluar?”
“Well, saat aku tahu kamu
ada di sini, aku membuat tangga dari meja, kursi dan perabot lain di dalam
rumah. Jadi aku bisa memanjat tembok dari dalam, lalu keluar dengan menjebol
atap rumah. Untuk masuk kembali, ya, mungkin sedikit lebih sulit. Tapi,…”
“Sudah, nanti saja dipikirkan, Don.
Yang penting kamu masuk dulu. Kasihan kamu sudah terlalu lama di luar.”
Bella pun membuka pintu lebih lebar
dan segera menarik tanganku ke dalam.
-----------
Tayang pertama kali di Kompasiana | ilustrasi gambar dari freesoundlibrary.com
m
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar