Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Bagaimana caranya
membunuh waktu?
Daya sintasnya luar biasa. Dia selalu mampu hidup kembali sebanyak jumlah pembunuhan yang kamu alamatkan kepadanya. Jika kematiannya dianalogikan seperti sebuah peristiwa kejahatan, dia sudah hafal berbagai modus operandi di luar kepala. Cairan kimia, senjata tajam dan tumpul, ledakan peluru, detonator bom, gas beracun, patah tulang, sambaran petir, kecelakaan lalu lintas, kamu boleh menyebut seribu satu cara untuk mati, dia sudah mengalami itu semua.
Dan… dia selalu bisa hidup kembali.
Jadi dibanding mencari
cara-cara lain yang hanya akan berujung sia-sia, apa tidak sebaiknya aku
berkawan saja dengannya?
“Hei, aku masih ada di sini. Masih
hidup. Masih segar bugar,” ucapnya di ujung sore. Dia berdiri dengan percaya
diri. Sedangkan aku duduk di tepi dermaga kayu, memandang bola besar berwarna
merah tembaga yang sudah merapat ke tepi samudra. Tapi senja ini masih akan
lama. Mungkin kalau aku bisa membuatnya mati sekejap saja, aku bisa membuat malam
tahu-tahu sudah di depan mata.
“Kamu tidak tertarik membunuhku
seperti yang sudah-sudah?” tanyanya antusias, seolah aku ini kawan lama yang
baru bertemu kembali.
Aku menggeleng.
“Percuma saja, bukan? Kamu akan
hidup, terus hidup dan terus hidup,” sahutku.
Waktu tertawa beberapa saat.
“Itu sudah hakikatku, Kawan.
Ayolah. Aku menikmatinya, kok. Mati dan hidup lagi berkali-kali. Apa
kamu tidak takut mati pelan-pelan digerogoti jenuh seperti ini? Apalagi kamu
masih harus menunggu kekasihmu berhari-hari, berminggu-minggu bahkan
berbulan-bulan lamanya.”
Aku tidak bisa menyangkalnya. Sama
seperti bola besar berwarna tembaga yang tidak bisa menyangkal bintang-bintang
yang mulai muncul satu-satu di bibir langit.
“Biasanya kamu begitu menikmati
membunuhku, kan? Ada senyum kemenangan setiap kali kamu mengunggah satu
tulisan, dan blog kamu langsung dibanjiri komentar serta pujian. Pun kamu bisa
terjaga berjam-jam lamanya saat membaca novel-novel misteri itu. Atau seperti
biasa, kamu juga bisa mengangkat telepon dan menghubunginya di seberang benua,
lalu bercerita panjang tentang masa lalu dan masa depan,” cecar Waktu lagi.
Aku tersenyum.
“Benar… tapi lihat apa hasilnya? Pada akhirnya kita akan
kembali bertemu dan bercakap-cakap seperti ini. Itu semua hanya ilusi. Melakukan
semua itu hanya karena ingin menyingkirkanmu, sama seperti seorang musafir yang
mengalami fatamorgana di padang gurun. Dia berpikir melihat oasis, ternyata
hanya bertemu dengan hamparan pasir lainnya.”
Kali ini waktu terdiam cukup lama.
Sepertinya dia pelan-pelan memahami isi kepalaku. Aku melanjutkan,
“Tidak peduli berapa kali aku
membunuhmu, kamu selalu hidup dan kembali menertawaiku seperti biasa. Jadi
mengapa tidak berkawan saja denganmu? Menikmati setiap menit kehadiranmu di
sampingku. Jika aku harus mati karena digerogoti kejenuhan, biarlah seperti
itu. Toh, kalau mati karena jenuh aku juga selalu bisa bangkit lagi. Sesekali
aku juga ingin tahu bagaimana rasanya mati dan hidup berkali-kali, seperti yang
kamu alami selama ini.”
Waktu tersenyum. Kali ini senyumnya
berbeda, lebih hangat dari biasanya.
“Sepertinya aku sepakat. Mari
berkawan saja kalau begitu. Aku juga sudah bosan jadi seterumu terus menerus,”
ucapnya lalu ikut duduk di sampingku. Pandangan kami sama-sama tertuju ke ufuk
barat.
“Lihat,” kataku. “Tanpa harus
menyingkirkanmu, tahu-tahu matahari senja tinggal sepenggal saja yang
tertinggal di atas samudra. Malam sebentar lagi tiba.”
“Wah, benar juga,” dia pun
melingkarkan lengannya di punggungku.
“Tapi kamu jangan lengah, ya,”
godaku. “Kalau sudah bosan, aku ini tipe teman yang suka main tikam dari
belakang, loh!”
Kami pun tertawa berderai-derai di bawah bintang-bintang. Kalau dipikir-pikir lagi, aku dan Waktu ini memang seperti kawan lama yang baru bertemu.
--
Tayang pertama kali di Kompasiana | ilustrasi gambar dari pixabay.com
Komentar