Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Awak Kabin

 


Hari baru akan menghempaskan pantatnya ke atas kursi pesawat, saat tatapannya tertuju pada salah satu awak kabin yang sedang menata bagasi penumpang tidak jauh di depannya. Wajah manis dan mata bening di atas masker itu membuat memorinya spontan koprol ke masa belasan tahun silam.

Cindy Herianti. Cewek manis kawan se-SMA, cinta pertamanya. Sayang sekali, sampai mereka merayakan kelulusan, Hari tidak pernah sekalipun menyatakan perasaannya. Padahal dia memiliki begitu banyak kesempatan untuk itu. Mereka berdua sama-sama mengikuti ekskul marching band, tinggal berdekatan kompleks bahkan kerap satu kelompok saat mengerjakan proyek dari guru-guru.

Tapi apa daya? Rasa malunya lebih tebal daripada rasa cinta yang harus diungkapkan.

Setelah itu sosok Cindy perlahan-lahan terlupakan, sejak meninggalkan kota kelahiran, bergelut dengan tugas-tugas kuliah, meniti karir dan bisa dibilang menjadi agen asuransi sukses saat ini.

Selain tatapan mata dan cara menata rambut sebahunya yang sepintas lalu masih sama, kini Cindy telah nampak begitu dewasa.

Beberapa kali tatapan mereka bertabrakan, tapi Cindy mungkin tidak akan langsung mengenalinya sebagai teman SMA dahulu. Masker dan kacamata minus yang terpampang di depan wajah memang membuat penampakannya jauh berbeda dari wajah terakhir yang dilihatnya saat mereka masih SMA.

Cindy H.

Saat sosok awak kabin itu mendekat, Hari bisa melihat tulisan yang tertera jelas pada emblem namanya. Sudah 100% tidak salah orang. Potongan memori manis yang berkelebatan membuat jantungnya berdetak lebih cepat.

Jangan-jangan penerbangan ini adalah jalan Tuhan mempertemukan kami kembali, batinnya.

Saat ini Hari juga sedang berstatus single. Dia sering jadi bahan candaan kawan-kawan kantor karena statusnya itu, terutama karena sebentar lagi usianya akan menginjak kepala tiga.

Hari pun berniat menyapa Cindy secara khusus, setelah para awak kabin memperagakan demo keselamatan dan pesawat take off dengan sempurna.

Dengan Mbak Cindy ya? Masih ingat aku? Hari! Kita satu SMA di Malang

Halo Mbak, perkenalkan aku Hari. Kita dulu satu sekolah loh.

Ah, terlalu vulgar. Mesti pakai bahasa yang lebih diplomatis.

Mbak Cindy? Dulu SMA-nya di Malang ya?

Halo Mbak. Dengan Mbak Cindy? Dulu SMA-nya di SMA Harapan di Malang ya?

Ah, masih kurang pas.

Halo. Maaf Mbak, mudah-mudahan aku tidak salah orang. Mbak Cindy dulu SMA-nya di SMA Harapan Malang bukan ya?

Nah, pilihan kalimat yang terakhir ini sepertinya lebih cocok.

Tidak lama kemudian, pesawat bergerak menuju ke landasan pacu untuk bersiap-siap take off. Setelah take off yang cukup mulus dan lampu indikator seat belt dipadamkan, Hari pun menanti kesempatan untuk menemui Cindy.

Saat ini Cindy dan seorang awak kabin yang lain berada di belakang pesawat, di dekat toilet.

Setelah menunggu beberapa saat, kawan Cindy terlihat menuju ke depan, ke arah cockpit, ini kesempatan yang pas. Hari permisi pada penumpang yang berada satu row dengannya lalu berjalan hati-hati menuju ke belakang pesawat. Saat itu seluruh kursi pesawat hampir terisi penuh.

Hari mengumpulkan segenap keberanian dan mengulang-ulang di benaknya potongan kalimat yang mesti diucapkan nanti.

Halo. Maaf Mbak, mudah-mudahan aku tidak salah orang …

Cindy tiba-tiba muncul dari balik station awak kabin dan bermaksud membuka salah satu bagasi di deretan belakang.

“Mbak Cindy?”

Saat itu Hari tanpa sengaja melihat sesuatu yang berkilau di jari manis Cindy. Cincin emas dengan hiasan batu permata. Nampak mewah dan elegan.

Apa itu cincin kawin? Atau … paling tidak cincin tunangan?

Ah, yang manapun jawabannya, percakapan ini pasti tidak akan berakhir seperti yang diharapkan.

“Iya bagaimana, Bapak? Ada yang bisa dibantu?” sahut Cindy ramah.

“Ehm, eng, boleh minta selimutnya, Mbak?”

“Boleh, Pak. Ditunggu sebentar, ya,” sahut Cindy lagi sambil bergegas ke arah station. Dia sedikit heran, karena baru saja salah satu kawannya sesama awak kabin menuju ke depan. Biasanya para penumpang akan meminta tolong pada awak kabin yang pertama kali ditemuinya.

“Ada lagi yang bisa kami bantu, Pak?”

Selimut yang sudah terlipat rapi dalam bungkusan kini berpindah tangan dari Cindy ke Hari. Hari menggeleng.

“Nanti kalau butuh yang lain, saya kabari lagi.”

“Baik, Pak.” Cindy mengatupkan kedua telapak tangan di depan dadanya dengan sopan.

Hari pun kembali ke tempat duduknya dengan gontai. Sebagian dirinya mengutukinya habis-habisan. Ini bisa jadi kesempatan sekali seumur hidup. Paling tidak biarkan Cindy mengenalnya sebagaimana layaknya dua orang kawan lama yang baru bertemu lagi.

Tapi sebagian dirinya yang lain tetap bergeming. Sudahlah! kalau memang jodoh pasti akan ketemu kembali.

Jodoh? Iya, sayangnya Cindy sudah jadi jodoh orang.

Ambyar! 


Tayang pertama kali di Kompasiana | ilustrasi gambar dari pixabay.com


Baca Juga Fiksi Keren lainnya:







Komentar