Fiksi Pilihan

Nada Tinggi Belum Tentu Marah

  Di ruang persiapan, tuan presiden dalam balutan batik kontemporer sekali lagi memandang naskah pidatonya dan memberi perhatian pada tanda-tanda baca warna-warni yang bertebaran di sepanjang naskah.

Darah Emas


 

Seekor nyamuk terbang dengan kecepatan rendah di dekat rawa pinggiran hutan. Nyamuk itu adalah nyamuk raja, pemilik darah emas. Mestinya dia tidak boleh melenggang seorang diri tanpa pengawalan prajurit-prajurit kerajaan. Tapi nyamuk raja sedang ingin jauh dari hiruk pikuk dan formalitas birokrasi kerajaan.

Sayang, denging sayapnya mengalihkan perhatian makhluk bermata bulat dengan tubuh penuh lendir di dekat situ.

Happ!!

Sekali menjulurkan lidah, kodok rawa itu berhasil mencaplok nyamuk yang malang tadi untuk appetizer makan malamnya.

Kodok itu lalu melompat beberapa kali agar lebih dekat dengan pinggiran rawa. Tapi nasibnya tidak kalah malang. Sekonyong-konyong dari balik rerumputan meluncur ular sawah dengan mulut terbuka lebar. Dalam hitungan detik, kodok tersebut berada dalam pelukan maut ular kelaparan itu. Beberapa saat berikutnya, ular tersebut telah bersusah payah menelan kodok yang berukuran dua kali ukuran kepalanya

Butuh waktu beberapa hari untuk meluruhkan seluruh tubuh mangsa di dalam perutnya, sehingga ular itu berleha-leha sambil bermetabolisme, tersembunyi di antara semak belukar.

Malang nasibnya. Pada suatu siang seekor elang berhasil mengintip tempat persembunyian ular itu dari angkasa. Dengan manuver terbang yang luar biasa, elang tersebut berhasil menyambar ular dari antara rerumputan tanpa perlawanan yang berarti.

Mangsa empuk itu dicengkeram erat dengan kuku-kuku setajam samurai dan dibawa ke atas sebuah dahan pohon kering, tempat elang itu akan merayakan makan siangnya.

Tapi malang, saat tengah asyik mencabik dan mengunyah buruannya, tubuh elang itu tertembus anak panah milik seorang pemuda suku Inhui yang juga tengah berburu. Suku Inhui adalah salah satu suku yang menghuni pinggiran hutan itu.

Elang yang malang menggelapar dalam sakratul maut sebelum akhirnya mati karena anak panah menyobek organ vitalnya.

Pemuda itu segera menyeret tubuh elang dan membawanya ke perkampungan.

Selepas senja dia bersama tiga orang kawannya sesama pemuda suku Inhui memanggang elang yang malang itu untuk teman minum tuak. Saat sedang berpesta di sekitar api unggun kecil, pemuda suku Inhui tersebut tidak menyadari kalau bahunya yang terbuka jadi santapan nyamuk-nyamuk hutan.

“Ayo cepat, Prajurit! Kita harus berhasil mengisap darah emas dari tubuh manusia itu,” perintah kepala prajurit nyamuk. Setiap prajurit sudah terlatih mencium aroma darah emas walaupun sudah berpindah tubuh berkali-kali. Kini mereka juga jadi tahu bagaimana nasib sang raja yang sudah hilang berhari-hari lamanya. Bagaimanapun juga, darah emas adalah simbol kedaulatan kerajaan mereka.

---

Tayang pertama kali di Kompasiana | ilustrasi gambar dari pixabay.com


Baca Juga Fiksi Keren lainnya:







Komentar