Fiksi Pilihan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Sudah hampir sejam kami bertiga, saya dan dua teman kantor lainnya, berada di kamar perawatan Romo Yosep. Romo sudah nampak jauh lebih sehat dibanding saat kami mengunjunginya minggu lalu.
Romo sudah hampir tiga minggu ini jadi
penghuni rumah sakit karena penyakit saraf terjepit. Kendati sudah lebih sehat,
ceria Romo belum 100% kembali. Kalau tidak sedang sakit, lawan bicaranya yang
kewalahan menanggapi obrolan atau candaannya. Kali ini kami yang lebih banyak mendominasi
obrolan.
Kami pun saling pandang sebagai
isyarat untuk segera mengakhiri waktu menjenguk ini. Riska yang secara unofficial menjadi juru bicara kami
pamit kepada Romo dan keluarganya, Om Ferry adik bungsu Romo, dan Kei, salah
satu keponakan Romo yang masih kuliah. Lalu Riska, Aku dan Rudi menyalami
mereka.
Sebelum keluar pintu kamar, aku
mengeluarkan dari dalam tas amplop berisi uang hasil saweran kami bertiga dan
menyerahkannya ke Om Ferry.
Om Ferry terkejut.
“Eh, apa ini, Paul?” tanyanya. Dia
belum menyambut uluran tanganku.
“Ini sedikit dari kami, Om. Siapa
tahu romo pengen beli sesuatu. Tadi rencana mau singgah beli buah, tapi gak
keburu jadi ya uangnya kami amplopkan saja.”
“Hehehe… kalian tak usah
repot-repot begitu. Kalian ke sini saja romo sudah senang kok,” sambung Romo
Yosep dari atas tempat tidur.
“Gak apa-apa kok, Mo,” aku kembali
menyodorkan amplopnya ke Om Ferry.
“Om, diterima om amplopnya. Takutnya
nanti amplopnya masuk ke tas dia lagi, kebiasaan kalau habis nagih kredit
bermasalah,” canda Riska.
Kamar VIP rumah sakit itu jadi riuh
oleh tawa kami berenam.
Akhirnya amplop pun diterima dengan
baik dan kami beranjak dari kamar perawatan.
“Habis dari sini ke mana lagi,
Paul?” tanya Rudi. Dia yang saat ini memegang kunci mobil kantor dan kebagian
tugas jadi driver. Kami sekarang
sedang menyusuri koridor rumah sakit menuju ke parkiran.
“Ada dua titik, sih. Satu di
Kamboja satunya lagi di …,”
“Kamboja deket sini. Kita ke sana
aja dulu,” sahutnya lagi.
“Jangan lama-lama ya Paul. Aku
sudah harus ada di kantor jam tiga nanti,” sambung Riska.
“Iya, iya. Tidak lama kok, cuman
ngantar surat penagihan saja,” aku langsung mengeluarkan surat penagihan untuk
mengecet alamat debitur yang satu lagi.
Haaah?!
Aku tercekat. Langkahku terhenti. Kok amplop berisi uang besuk kami tadi
masih ada dalam tas?
“Kenapa, Paul?” tanya Rudi. Mereka
terhenti beberapa langkah di depanku.
“Kayaknya amplop duit tadi tertukar
dengan amplop surat penagihan deh. Aku tidak perhatikan baik-baik. Nih, amplop
duit kita masih ada di sini,” aku mengangkat amplop berisi uang itu.
Rudi tidak bisa menahan tawanya,
begitu juga Riska. Dia langsung menyuruhku cepat-cepat balik lagi ke kamar Romo
Yosep. Sialnya, mereka tidak mau ikut ke sana karena tidak mau ikut menanggung
malu. Jadi aku balik sendirian saja, setengah berlari ke arah kamar perawatan.
“Ketinggalan sesuatu?” tanya romo
begitu wajahku muncul di pintu kamar.
“Iya, Mo. Ketinggalan … amplop yang
tadi.”
Suasana hening sejenak. Romo Yosep,
Om Ferry yang sedang membereskan meja makan, juga Kei yang sedang berkutat
dengan laptop serempak memandangku dengan tatapan aneh.
Aku pun menarik napas panjang
sebelum mulai menjelaskan apa yang terjadi.
Satu menit kemudian, kamar
perawatan itu pecah oleh tawa mereka bertiga. Amplopnya ternyata belum dibuka,
karena tadi langsung dimasukkan ke tas romo oleh Om Ferry. Aku pun membereskan
tragedi amplop tertukar ini dengan menyerahkan amplop berisi uang (kali ini
benar-benar berisi uang) dan mengambil kembali amplop berisi surat penagihan,
lalu untuk kedua kalinya pamit dari situ.
Yah, mau tidak mau aku tengsin berat. Tapi tidak apa, yang
penting amplop berisi surat penagihan masih utuh dan aman.
Suara tawa masih terdengar saat aku
sampai di parkiran dan membuka pintu mobil. Rudi sudah duduk di belakang setir
dan Riska di sampingya. Aku pun menjitak belakang kepala Rudi.
“Sudah, stop tertawa. Alamat yang
satu lagi di jalan Ahmad Yani.”
“Siap, bos,” sahut Rudi lalu
melanjutkan tawanya.
Riska hanya senyum-senyum. “Romo
pasti bahagia sekali tadi. Betul nggak?” tanyanya.
Aku mengangguk dan ikut tersenyum
mengingat wajah lucu romo saat menertawaiku tadi. Aku juga senang kok romo terhibur. Semoga beliau lekas
sehat kembali.
Mobil kami pun melaju mulus
meninggalkan parkiran rumah sakit dan bergabung dengan kepadatan lalu lintas
metropolitan.
Komentar